Hiruk pikuk berkecamuk
Gelisah berpeluh tiada arah
Setumpuk hajat menggunduk
Menanti kebangkitan dari jiwa yang lelah
Kali ini, hajat itu menyangkut urusan hati
Sebagaimana hukum mutlak hidup dan mati
Rasa yang tampaknya tak dapat disanggah oleh logika lagi
Menjatuhkan diri ini ke dalam lubang keresahan berhari-hari
Mungkin ini salah satu puisi receh seorang remaja tak berkelas
Yang "mencoba" memadu emosi dengan dinamika berintuisi yang khas
Menata sekata demi kata tuk jadikan rangkaian kalimat puitis
Daripada membual janji-janji manis
Sebuah kisah, suatu momen yang melukis pilu. Sungguh, itu kusebut "cinta". Entah kenapa aku tak bergairah setelah mendengar kata itu, sepertinya ada serpihan yang terbawa di dalamnya. Ah salah, bukan cinta yang membawa serpihan perasaanku, namun cintalah yang menyebabkan perasaan ini hancur menjadi serpihan. Bukan begitukah cerpenis atau penulis novel romance zaman kini merangkai kata dalam satuan karya-karyanya tuk menghiburmu yang sayu-sayu dalam dilema?
Ceritaku dimulai saat kutemukan seseorang yang cantik dalam jelita serta mulia dalam perangai. Mungkin gadis itu terlihat begitu, mungkin memang faktanya begitu, atau mungkin opiniku yang dikuasai nafsu sehingga pandanganku terhadapnya menuju ke sana. Begitulah pikiran pemuda yang sedang dirundung asmara. Awalnya semua terlihat baik-baik saja, hingga entah apa yang membuat kami sering bertemu. Kebersamaan yang sering ini membuatku tak tahan, mengungkapkan rasa bagiku adalah suatu kesalahan sedangkan diam mematung seperti menenggelamkan diri dari bumi saja. Semakin terikat jalinan kasihku terhadapnya, hal itu semakin menyadarkanku akan kehampaanku yang sebenarnya. Aku menyukainya, tetapi sengaja aku tidak memperlakukannya dengan mengistimewakan dirinya. Toh kalo bukan jodoh ya sudah, kalo jodoh yasudah. Ya, tapi aku tetap mengistimewakannya di dalam hatiku. Kutulis beberapa tulisan untuknya, sampai pada suatu saat dia merecehkanku. Aku yang terlalu memaku perspektif yang berlebihan, atau mungkin memang datang tanda waktunya menjauh. Nama yang tertera dalam buku catatanku, mendadak menusuk tajam balik ke arah pandanganku seolah merobek logikaku yang tak mampu menerima bahwa mungkin dia tidak cocok bagi diriku. Aku meminta seorang teman tuk menghapus namanya, menghapus seseorang dari perasaanku hanya sesederhana itu, terkadang. Namun hal yang tidak bisa kumunafiki adalah bahwa aku memunafiki diriku sendiri jika aku sudah menghapus dirinya. Lalu aku berpikir, jika penghapus takkan mampu menghapus sepenuhnya, mungkin bara api bisa menghilangkan semua kenangan itu. Ternyata dugaanku salah besar, selembar kertas berisi tulisan puitis itu tetap menyisakan sesuatu walau telah dijilati bara api. Mungkin memang tidak ada hal yang bisa dihapus sepenuhnya, termasuk perasaan. Demikian, kututup hari ini dengan membakar puisi cintaku, kuwarnai hariku dengan remahan abu surat itu.
-Kamis, 27 April 2017-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar