Jumat, 28 April 2017

Aroma Khas Pengkhianat

Pada suatu pagi yang lembab disertai embun berkabut, datang sebuah kapal muatan yang mengangkut banyak hewan. Saat moncong kapal menyentuh dermaga, segera pintu kapal dibuka. Para hewan keluar dengan tenang, berbaris rapi, ada yang dirantai dengan hati-hati. Proses penurunan hewan awalnya berjalan mulus, tetapi karena kurangnya koordinasi, akhirnya beberapa hewan yang tak dikawal pun melarikan diri. Beberapa berhasil ditangkap, namun ada yang berhasil kabur lalu sembunyi atau entah pergi kemana. Seekor kambing muda nan lincah berhasil sembunyi di semak belukar yang tinggi serta rimbun tak jauh dari dermaga. Sang kambing berkamuflase dibalik gegap gempita aktivitas para manusia di kala itu.

Tak terasa sudah dua hari sang kambing bersembunyi di bawah semak belukar itu, rasa lapar mulai menerpanya. Dalam hati, sang kambing berpikir “Ah, lebih baik kumakan saja rerumputan ini agar aku tak mati kelaparan.” Tiba-tiba sang rumput berkata, “Lebih baik jangan kau makan aku, jika aku tidak rimbun lagi maka persembunyianmu akan terbongkar.” Mendengar hal itu maka sang kambing berpikir, “Benar juga, kalau aku memakan rumput ini terlalu banyak maka aku bisa terlihat. Namun jika kumakan sedikit apa salahnya, toh nanti rumput itu akan tumbuh lagi.” Dengan nggeragas si kambing itu memakan rerumputan, lupa dirilah si kambing itu sampai memakan terlalu banyak karena rakusnya. Si rumput menjawab, “Sudah Mbing, aku khawatir diriku ini lama-lama akan habis dan kau akan ditangkap karena tidak ada yang menutupimu lagi.”Si kambing pun terharu, akhirnya sang kambing memutuskan untuk puasa beberapa hari tanpa makan.

Hari demi hari silih berganti, si kambing mulai kering kerontang karena tak mendapat asupan makanan yang cukup. Kembali si kambing ini berpikir, “Kalau aku menunggu tumbuhnya rumput, lama-lama aku bisa mati kelaparan. Lebih baik kumakan lagi, toh rumputnya masih lebat dan nanti juga akan tumbuh lagi.” Akhirnya sang kambing pun memakannya kembali. Si rumput yang menyadari bahwa si kambing memakannya kembali, mulai menitihkan air mata. “Hai Mbing, hari demi hari kelebatan diriku semakin berkurang, sedangkan Engkau tidak henti-hentinya memakanku. Aku takut nanti dirimu bisa terlihat oleh sekawanan manusia itu.” Si kambing yang tenggelam dalam nafsu tak menghiraukan perkataan si rumput, malah melanjutkan melahap santapannya. Dua minggu pasca kambing melarikan diri, semakin tipislah si rumput. Semak belukar yang tadinya banyak rerumputan menjulang tinggi, kini sudah tak seperti dulu kala. Tiap orang yang melewati semak belukar itu, mulai curiga jika ada sesuatu dibalik semak itu. Sang kambing yang baru menyadari hal tersebut, mulai resah karena pertumbuhan rumput itu lebih sedikit daripada jumlah porsi yang dimakannya. Waktu terus berjalan, tersiksa oleh kesepian dan ketiadaan pangan membuat kambing stres berat serta dilanda dilema yang sangat pekat. Akhirnya, dengan akal pendek dan keputusan yang sembrono si kambing memutuskan tuk memakan lagi rumput yang tersisa untuk memenuhi hasrat perutnya. Si rumput lalu menangis tersedu-sedu dan mengatakan ucapan perpisahan, “Mbing, maafkan aku. Sepertinya setelah ini aku akan habis karena Engkau tak henti-hentinya memakanku, mohon maaf juga jika pertumbuhanku lambat dan tidak kuasa melindungimu lagi setelah ini karena kecepatan pertumbuhanku tidak sebanding dengan diriku yang kau makan. Aku akan selalu mendoakan apapun demi kebaikanmu nantinya, walaupun kau mengkhianati pertolonganku..”

Esoknya, datang beberapa manusia mengerubungi si kambing yang masih tertidur pulas karena kenyang setelah menyantap rerumputan. “Wah, sepertinya ini salah satu kawanan yang lepas dari rombongan kapal beberapa minggu lalu itu.” kata seseorang di situ. “Wah benar sekali, lebih baik kita bawa pulang saja kambing ini daripada  terlantar seperti ini.” Akhirnya salah satu di antara orang-orang itu pun membawa si kambing muda dan merawatnya di halaman rumahnya. Si kambing yang gelagapan awalnya, merasa bersyukur karena tidak disiksa oleh sekawanan manusia yang menemukannya. Beberapa bulan kemudian, si kambing muda tadi menjadi gemuk karena nutrisinya selalu dipenuhi oleh sang majikan. Setelah tenggelam dalam kebahagiaan, tiba-tiba kabar sial terdengar sampai ke telinga kambing bahwa sang majikan akan memakannya. Apalah daya si kambing yang dirantai oleh sang majikan sehingga tidak bisa kabur. Namun karena suatu hari sang majikan terbelit hutang, maka sang majikan pun memutuskan untuk menjual kambing pada seorang saudagar kaya di daerah tersebut. Setelah si kambing sampai di tangan saudagar tersebut, si saudagar itu langsung memanggil orang untuk menyembelihnya. Ternyata daging kambing tersebut akan dijadikan santapan bersama pada acara pesta perkampungan tersebut. Kambing yang awalnya kering kerontang dan dipelihara sampai gemuk, kini telah menjadi steak daging berbalut saus keju mayonaise. Kini kambing matang tersebut memiliki bau yang berbeda, khas aroma sang pengkhianat.

Berdasarkan cerita di atas, timbul sebuah pertanyaan besar yang sebenarnya menjadi dilema. Yaitu, jika kita menjadi kambing, maka hal apa yang akan kita lakukan?


Kamis, 27 April 2017

Abu Mewarnai Hari

Hiruk pikuk berkecamuk
Gelisah berpeluh tiada arah
Setumpuk hajat menggunduk
Menanti kebangkitan dari jiwa yang lelah

Kali ini, hajat itu menyangkut urusan hati
Sebagaimana hukum mutlak hidup dan mati
Rasa yang tampaknya tak dapat disanggah oleh logika lagi
Menjatuhkan diri ini ke dalam lubang keresahan berhari-hari

Mungkin ini salah satu puisi receh seorang remaja tak berkelas
Yang "mencoba" memadu emosi dengan dinamika berintuisi yang khas
Menata sekata demi kata tuk jadikan rangkaian kalimat puitis
Daripada membual janji-janji manis

Sebuah kisah, suatu momen yang melukis pilu. Sungguh, itu kusebut "cinta". Entah kenapa aku tak bergairah setelah mendengar kata itu, sepertinya ada serpihan yang terbawa di dalamnya. Ah salah, bukan cinta yang membawa serpihan perasaanku, namun cintalah yang menyebabkan perasaan ini hancur menjadi serpihan. Bukan begitukah cerpenis atau penulis novel romance zaman kini merangkai kata dalam satuan karya-karyanya tuk menghiburmu yang sayu-sayu dalam dilema?

Ceritaku dimulai saat kutemukan seseorang yang cantik dalam jelita serta mulia dalam perangai. Mungkin gadis itu terlihat begitu, mungkin memang faktanya begitu, atau mungkin opiniku yang dikuasai nafsu sehingga pandanganku terhadapnya menuju ke sana. Begitulah pikiran pemuda yang sedang dirundung asmara. Awalnya semua terlihat baik-baik saja, hingga entah apa yang membuat kami sering bertemu. Kebersamaan yang sering ini membuatku tak tahan, mengungkapkan rasa bagiku adalah suatu kesalahan sedangkan diam mematung seperti menenggelamkan diri dari bumi saja. Semakin terikat jalinan kasihku terhadapnya, hal itu semakin menyadarkanku akan kehampaanku yang sebenarnya. Aku menyukainya, tetapi sengaja aku tidak memperlakukannya dengan mengistimewakan dirinya. Toh kalo bukan jodoh ya sudah, kalo jodoh yasudah. Ya, tapi aku tetap mengistimewakannya di dalam hatiku. Kutulis beberapa tulisan untuknya, sampai pada suatu saat dia merecehkanku. Aku yang terlalu memaku perspektif yang berlebihan, atau mungkin memang datang tanda waktunya menjauh. Nama yang tertera dalam buku catatanku, mendadak menusuk tajam balik ke arah pandanganku seolah merobek logikaku yang tak mampu menerima bahwa mungkin dia tidak cocok bagi diriku. Aku meminta seorang teman tuk menghapus namanya, menghapus seseorang dari perasaanku hanya sesederhana itu, terkadang. Namun hal yang tidak bisa kumunafiki adalah bahwa aku memunafiki diriku sendiri jika aku sudah menghapus dirinya. Lalu aku berpikir, jika penghapus takkan mampu menghapus sepenuhnya, mungkin bara api bisa menghilangkan semua kenangan itu. Ternyata dugaanku salah besar, selembar kertas berisi tulisan puitis itu tetap menyisakan sesuatu walau telah dijilati bara api. Mungkin memang tidak ada hal yang bisa dihapus sepenuhnya, termasuk perasaan. Demikian, kututup hari ini dengan membakar puisi cintaku, kuwarnai hariku dengan remahan abu surat itu.
-Kamis, 27 April 2017-

Karena aku seorang pemikir~

Aku melihat seseorang yang sepuh nan teguh.
Berjalan dengan tunduk tanpa mengeluh.
Menjejak tanpa ragu dan semakin menjauh.
Parasnya menegaskan tak seperti insan yang angkuh.

Kuamati beliau yang menurutku "tampak" fakir.
Jalannya nampak seperti sambil berpikir.
Geraknya juga sambil berpikir.
Bernapas pun selalu tampak berpikir.
Lama-lama kutersadar bahwa jiwaku yang kikir.
TIDAK, TERNYATA BELIAU TAK FAKIR!

Berjalannya adalah sambil berpikir kemana arah jiwa dan raganya dibawa tuk menuju sesuatu yang disebut "kemuliaan".
Geraknya berpikir untuk melakukan perubahan dan kebermanfaatan seperti apa ke depan.
Bernapasnya adalah memikirkan kematian, ya. Kematian bisa datang kapan saja, entah kapan amanah ruh ini akan diambil kembali.

Ada orang yang terlihat cerdas namun tak begitu berilmu.
Ada yang biasa saja namun begitu berilmu.
Aku yang mana? Tidak, jangan-jangan lebih buruk dari dua pernyataan itu.
Bukan karena aku tak cerdas.
Bukan karena aku tak berilmu.
Tapi mungkin karena aku kurang "berpikir".

Sedikit diberi nikmat kecerdasan saja aku sudah terlena.
Sedikit ilmu yang hanya bagai satu tetes air dibanding air di lautan saja aku sudah sombong.
Katanya padi semakin berisi semakin merunduk, apakah harus menjadi seorang yang sepuh dulu baru dikatakan padi yang berisi?
Lalu, seorang pemuda sepertiku harus apa? 
Ya mungkin harus selalu berpikir, karena aku seorang pemikir~

Selasa, 25 April 2017

Bangkitlah Pemuda!

Tulisan ini dibuat sebagai bentuk refleksi diri untuk pemuda terutama mahasiswa mengenai gejolak dari masa lampau sampai era reformasi yang masih berjalan sampai saat ini...

Tahun 1908, berdirilah sebuah organisasi yang menjadi tonggak awal pergerakan nasional, wadah pergerakan pertama di Indonesia yang disebut Boedi Oetomo. Pada tahun ini, semangat kebangkitan pemuda untuk membebaskan nusantara dari jajahan belanda mulai muncul. Organisasi ini sekaligus menjadi batu loncatan dalam menghidupkan api semangat yang lebih besar untuk memerdekakan tanah air Indonesia.

Tahun 1928, para tokoh dan beberapa pemuda berkumpul untuk mendeklarasikan sebuah sumpah bernama Sumpah Pemuda untuk mengentalkan darah juang dan jiwa sejati pemuda Indonesia.

Tahun 1945, golongan muda bertikai dengan golongan tua untuk menculik Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Masa revolusi 1966 mungkin adalah puncak pergerakan pemuda dalam memperjuangkan nasib bangsa yaitu dengan terlibat beberapa konflik seperti pemberontakan kader PKI sebagai pemusnahan ideologi politik yang dianggap "nyeleweng". Siapa tahu..

Lanjut pada tahun 1998, ketika negara ini kritis dan mengalami kerusuhan karena dilanda krisis parah serta inflasi yang mencekik, suara rakyat dibungkam, maka mahasiswa dikala itu menjadi kesatuan yang solid dalam melengserkan rezim zalim.

Hingga saat ini, waktu terus berjalan...
Di era reformasi yang "mungkin" negara kita sudah bisa disebut "Merdeka" ini, banyak terjadi pergolakan dan revolusi mental dari kaum pemuda.
Sampai-sampai, munculah film "Ada Apa Dengan Pemuda" atau yang saya maksud pemuda di sini adalah "Maha"siswa.
Romantisme film tersebut menggambarkan betapa mirisnya pemuda zaman ini, seperti yang tergambarkan berikut.
Tembakau hisapanmu..
Tayangan percintaan dunia maya tontonanmu..
Pergosipan di medsos bahan diskusimu..
Gadget peganganmu..
IPK Tuhanmu!
Sampai ujian pun mencontek, moral tiada, nilai basi, gerakan pun mati. 
Apakah hidup kita sebagai mahasiswa hanya dikhususkan untuk mencari nilai?
Patut kita telusuri dan renungkan lagi tugas mahasiswa apa saja, menuntut ilmu memang adalah keharusan, namun apakah "hanya" menuntut ilmu saja tanggung jawab kita?

Buang rokokmu, simpan uangmu untuk menabung atau investasi bermanfaat.
Bacalah, agar kau bisa melihat kekayaan ilmu lewat "jendela dunia".
Menulislah, agar kau bisa menyampaikan gagasan, pengalaman, serta emosi jiwamu kepada orang lain.
Jika perlu, berpidatolah dengan lantang di suatu momen agar kau bisa merangkul hati orang lain dengan emosi yang kau tuturkan melalui rangkaian kata yang terucap.
Sehingga kiranya, pada tahun berapa lagi "Pemuda" akan menunjukkan taringnya?

Bangkitlah Pemuda!

Senin, 24 April 2017

Obrolan Receh Ikan Laut

Hari-hariku di kampus diisi dengan canda tawa bersama sahabat-sahabatku seperti biasanya, diselingi saling memaki, saling menghina, gontok-gontokan hingga bunuh membunuh itu sudah hal biasa. Menurut filosofi sederhanaku, jika kita masih ada rasa sungkan antar individu berarti itu hanya hubungan teman biasa, jika sudah mulai berani lempar canda diselingi makian, mulai muncul benih benih persahabatan. Apabila sudah mulai gontok-gontokan, itu bisa dikatakan sebagai sahabat sejati. Namun, itu masih belum dikatakan sebagai persahabatan sesungguhnya. Logika sederhanaku mengatakan, tingkat pertemanan tertinggi adalah pembunuhan.

~Just Kidding~

Dimulai dari canda dengan sedikit mengejek (guyonan), saya menghina teman saya yang tidak punya pasangan dan sedang bersedih atau zaman kerennya sekarang disebut jones. "Lapo kon bersedih iku, ikan di laut sek akeh" tukasku. Dia menjawab, "Ya tau, tapi gak gitu Do maksudku". Lalu aku menjawab, "Lah, kan ikan di laut masih banyak. Ngapain kamu mengkhawatirkan kekurangan pasangan di luar sana? Oh aku tau, walaupun ikan di laut sana melimpah, tetapi hanya beberapa yang bernilai tinggi dan istimewa. Sedangkan rumah rumah ikan istimewa tersebut telah banyak yang dihancurkan sehingga mengganggu ekosistem dan tempat memijah ikan tersebut sehingga populasi menurun karena hal tersebut..." Temanku hanya menjawab, "Hmm..."

Ibaratnya adalah, teman saya kecewa karena orang istimewa yang dia sayangi "mungkin" telah dirusak oleh sesuatu yang lain. Walaupun masih banyak yang lain di luar sana, namun yang benar benar bernilai di matanya sementara ini mungkin masih terlihat satu sedangkan yang lain belum terlihat. Mirisnya lagi adalah, orang yang bagi teman saya dulu istimewa, sekarang sepertinya sudah dirusak oleh budaya baru berupa mesin inkubator yang bernama lingkungan. Bagi ikan, mungkin dia tidak sadar kerusakan lingkungan akan berdampak seperti apa padanya, namun semua baru sadar jika sesuatu hal sudah terjadi. Jadi intinya adalah, bunuhlah temanmu jika kamu merasa temanmu adalah konco kentel. Karena tingkat tertinggi pertemanan adalah pembunuhan...

Sabtu, 22 April 2017

Renungan Senja

Beberapa hari yang lalu, aku mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Seseorang yang sangat aku kagumi di kampusku, tiba tiba saja membenciku karena sikapku. Bahkan, seorang sahabatku juga membenciku karena beberapa hal yang menurutku itu sederhana. Sialnya, dua hal itu terjadi di hari yang bersamaan. Aku merasakan kegalauan yang sangat kuat selama beberapa hari. Hal itu sangat mengganggu perasaanku. Sampai sampai mengalihkan fokusku terhadap dunia organisasi dan juga akademik. Aku menangis tersedu sedu, beberapa menit lamanya. Semakin kupikirkan perasasaan itu, semakin perih hatiku. Jujur, aku merasa terganggu dengan semua itu, dan akhirnya aku mencoba untuk merenung. Tetapi, semakin aku merenung, semakin banyak air mata yang menetes. Namun, pikiranku segera tersadarkan oleh suatu hal. Sebab tangisanku berubah, tidak seperti sebab tangisan yang sebelum sebelumnya. Aku semakin histeris saat aku berpikir, “hanya karena sahabat dan orang yang kukagumi yang membenciku saja aku sudah merasa bersedih, bagaimana jika yang membenciku adalah Allah dan Rasul-Nya? Bagaimana jika Allah yang membenciku? Bagaimana jika Rasulullah tidak peduli padaku? Jika hal itu terjadi, bila diriku dibandingkan dengan butiran debu pun apakah diri ini lebih berharga?”

Jumat, 21 April 2017

Bukan Empat Sekawan

Wajah tak tersenyum bukan berarti marah atau pendendam, wajah ceria bukan berarti dia tak menyimpan luka dalam hatinya. Indikator seseorang sebagai penyayang atau pembenci tidak bisa langsung ditentukan dari perbuatan yang dilakukannya kepadamu "saja". Manusia bukan lembar ujian yang layak dinilai secara objektif, bukan pula sesuatu yang mudah untuk ditebak, apalagi dipahami dengan "sekadar beberapa perbedaan sudut pandang". Kenalilah dia, berbicaralah dengannya, akrabkan diri, pahami secara mendalam. Bahkan, setelah kau mengenalnya begitu dekat, terkadang karakter atasnya yang selama ini kita terima tidak serta merta bisa kita sama korelasikan dengan pemahaman kita. Apalagi manusia yang mengenal manusia lain secara tidak langsung, bisakah memahami sesamanya tanpa kedekatan emosional dan pemahaman antar karakter yang belum menyatu? Terdapat arti atas semua hal yang dilakukannya, pahamilah arti tersebut. Manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks bukan...

Denganmu...

Denganmu...
Kusadar bahwa tiap apa yang diciptakan-Nya memiliki keindahan.

Denganmu...
Kutemukan keunikkan dibalik sesuatu yang hanya dibilang benda "kecil".

Denganmu...
Kubisa melihat apa yang tak bisa dilihat oleh orang lain dengan mata telanjang,
bahkan dengan mata batin sekalipun.

"Tiap hal diciptakan agar kita berpikir dan merenung"

Kamis, 20 April 2017

Welcome party Budidaya Perairan 2016


-Chemistry-
Istilahnya "chemistry" kalo kata orang bilang
Tiada chemistry tiada harmoni
Bermusik butuh perasaan
Berpuisi juga perlu intuisi
Semua tanpa keterpaksaan
Sehingga semua yang terlantun dapat sampai ke tujuan
#Masalalu

Rabu, 19 April 2017

Rayuan Iblis

Lambaian angin berhembus nyaring
Mengganggu kuping merayu garing
Irama syahdu berbisik geli
Seolah mengajak menarik sambil menatap pelangi
Menyingkap gejolak penuh warna warni
Dia menggenggam tangannya penuh ironi

Dengan berbisik dalam sajak bernyanyi
Jiwanya bersyair seolah mendamba Ilahi
Bersimfoni dalam lantunan bait melodi
Aroma kental nan memesrakan
Membangkitkan intuisi

Sayang, hanya ilusi
Rasa bahagianya mungkin telah berevolusi
Bagai bayangan dalam warna hitam
Mengecap semu menerka samar
Dia kembali, datang, lalu pergi
Seperti iblis mengalir dalam panas matahari
Tenggelam pada jiwa yang kelam

Selasa, 18 April 2017

Diamlah!

Nyentrik nyelekit terasa mencekik
Sepasang bibir itu di kala bergerak
Goyang lidahnya saat menari-nari
Aduhai~

Seringkali mulut manisnya mengucap kata
Dengan alasan hak berbicara
Menyayat hati tiap pendengarnya
Berkelakar ke sana ke sini
Mengoyak dari kanan ke kiri
Daripada bergumam membakar telinga
Maka DIAMLAH!
Atau kuwarnai sanubarimu dengan nuansa khas sadistik.

Senin, 17 April 2017

Revolusi yang dikhianati

Oh tuan kami~
Kau terlalu banyak beretorika basi
Menebar emosi dengan berpuisi
Sekadar pamer dalam ajang berintuisi
Sindir sana sindir sini
Sampai lupa tuk mendengarkan rakyatmu ini
Kami meminta air tuk hapuskan dahaga kami
Namun kau beri bara api yang "katanya" tuk menerangi hati

Oh tuan kami~
Adakah maksud tersembunyi
Hingga membuatmu tak sadar diri
Lupa nurani
Lupa arah revolusi
Lupa tujuan sejati

Oh tuan kami~
Mengapa Engkau mengerutkan dahi
Padahal kami hanya menagih janji
Menanti aksi

Minggu, 16 April 2017

Kepada yang bisa mendengar sampai yang tuli

Jumat bersama senja, dua puluh empat Februari lalu.
Sendirian, meratap sambil menikmati aroma kopi.
Sanubari beriak bergejolak bagai api.
Dalam hati bergumam "Apa harus kuteriaki layaknya anarki?"
Kepada yang bisa mendengar sampai yang tuli.

Belajar enggan, berpolitik buta sekali.
Nilai bau basi, gerakan pun mati.
Berkata seolah membumi.
Sikap tak tertanda seperti ahli.
Terpaku hanya berdiam diri.
Bersandang bagai "Maha" sedang tujuan pun tiada.
Kutanya apa mau si hati.
Namun hanya "entah" yang membersamai diri.
Hanya jawaban tiada berarti.
Menemani senja bersama hangat kopi yang menutup cerita hari itu..

Sabtu, 15 April 2017

Kukira dia sudah datang, ternyata belum~

Kuingat waktu itu, di hari yang cerah ceria...
Mentari terbit indah menyinari, menunjukkan eloknya.
Hangatnya sampai merasuk ke tubuh yang lama terbengkalai rasa semu.

Seolah menapuk sukma yang lama mati terpendam bumi.
Tak pelak raga ini dirundung peluh.

Lalu datang sesuatu yang menyejukkan kalbu.
Membangunkan jiwa lama.
Menggetarkan hati.
Membuat mata ini terpana seakan menjawab harapan yang telah lama sirna.
Sesaat... Tapi ternyata hanya sesaat.
Harapan yang ditunggu tak gentar ternyata hanya sekadar mampir sebentar.
Lantas dia pergi.
Pergi jauh...
Bagai angan tanpa tujuan.
Dan kusadar yang kulihat hanya sebatas ilusi.

Kukira dia sudah datang, ternyata belum~


Jumat, 14 April 2017

Menapak Jalan Terjal

Hari berjalan sebagaimana mestinya
Dimulai dari pelukan hangat mentari
Sampai di bawah terik yang mencekik
Setetes keringat muncul berpacu sendu
Beradu nasib dengan ragu
Berjuang dengan nuansa haru
Tak terasa raga kalbu tak padu
Hingga senja unjuk pesona
Kulihat masih ada yang tertinggal
Rupanya..
Seorang remaja yang sedang menapaki jalan terjal

Sabtu, 01 April 2017

Arti Sebuah Nama

           Nama saya Aldo Lovely Arief Suyoso. Nama panggilan saya Aldo, agar lebih singkat dapat dipanggil Al atau Do, silahkan pilih sesuka hati. Ayah saya bernama Arief Suyoso dan ibu saya bernama Elly Fatmawatie. Saya anak pertama dari dua bersaudara dan saya adalah anak laki-laki sekaligus anak pertama. Saat ini saya tinggal di Surabaya, tepatnya di Jalan Babatan Pratama XVI/SS-109, kecamatan Wiyung. Saya lahir di Surabaya pada tanggal 31 bulan Juli tahun 1996. Sekarang, saya sedang menempuh pendidikan S1 Budidaya Perairan di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.
         Kali ini, saya akan bercerita mengenai arti nama saya. Jika melihat nama panjang saya, mungkin terkesan unik dan jarang. Namun dibalik sebuah nama yang aneh itu, terdapat sebuah makna yang dalam. Yang pertama adalah bagian dari nama Aldo, “Al” diambil dalam huruf arab yaitu alif yang terletak pada urutan pertama yang maksudnya anak pertama, “Do” adalah nada musik pertama dalam tangga nada yang mengartikan anak pertama yang mencintai seni musik (dulunya, sebelum saya berhenti bermusik). Keluarga saya serta sepupu memang banyak yang hobi dalam bidang musik, saya pun juga sangat sangat menyukai alat musik terutama gitar dan juga menyanyi, namun saya tidak begitu mahir dalam hal bernyanyi. Alhamdulillah, saya sudah bisa berhenti dari musik.
          Kalau membahas arti nama saya yang “Lovely” agak intim rasanya, saya agak malu jika membicarakannya. Tapi tak apa, saya akan menjelaskan arti dari nama tersebut. Lovely dalam bahasa inggris artinya bukan mencintai ya, tapi indah. Itu bukan arti sebenarnya dari nama saya, Lovely adalah gabungan dari Love dan Elly (ibu saya). Karena ibu saya ingin namanya diikutkan dalam nama anaknya, walaupun anaknya laki-laki dan dengan sedikit pemaksaan, jadi akhirnya begini jadinya. Ibu saya memberi nama itu karena ingin anaknya menjadi anak yang sayang kepada orang tuanya, terutama ibunya.
          Kalau nama panjang yang "Arief Suyoso" tidak perlu saya jelaskan, karena sudah jelas itu nama ayah saya. Jadi, itulah makna dari nama saya. Kalau ditarik kesimpulan berarti anak pertama calon pemimpin keluarga yang hobi dalam hal musik (dulunya) yang diharapkan mencintai dan berbakti kepada kedua orang tuanya.
           Jujur saja, sejak SD sampai SMA tidak sedikit yang mengolok-olok saya karena dalam nama saya ada kata Lovely. Bahkan, sampai kuliah ini pun masih ada, namun lama-lama saya terbiasa dan mulai tak peduli. Saya mulai bersyukur dan belajar menghargai nama pemberian orang tua, apalah arti dari sebuah nama jika kita tidak bisa mensyukuri dan menerimanya. Apapun nama kalian, InsyaAllah orang tua memberi yang terbaik dengan maksud dan doa yang baik pula.