Selasa, 19 Juni 2018

Surat Penantian

Dimana cucu-cucu Soeratmin?
Dimana saudara-saudari saya yang hilang?
Apakah kita masih satu rasa? Satu asa?
***
Lihatlah kami sekarang Kek, beberapa tampak bodoh atau mungkin pernah dibodohi dunia.
Namun, banyak kisah dramatis dari perjuangan hidup kami yang tak Kakek tahu.
Kakek pasti juga penasaran karena melewatkan berjuta cerita tentang bagaimana cucu-cucu ini bertarung.
Kami tidak dilahirkan untuk menjadi lembek kan?
Saya percaya jika kami dilahirkan untuk menjadi tonggak perjuangan, dunia maupun akhirat.
Saya percaya kami dilahirkan untuk berproses menuju kemenangan.
Mungkin saya belum terlalu paham hakikat kemenangan itu apa, tetapi setidaknya, saya memiliki persepsi tentang arti kebodohan agar bisa menghindarinya.
Menurut saya, ketidakinginan mencari tahu hakikat kemenangan dan cara untuk menggapainya, merupakan kebodohan yang sejati!
Walaupun saya tak sempat melihat sosok Kakek selama hidup saya, namun saya berharap suatu saat nanti kita bisa bertemu.
Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan, sekadar ingin mengetahui persepsi Kakek.
Yakni tentang apa itu kemenangan.
Kapan ya, kita bisa bertemu?
Mungkinkah itu terjadi?
Kalau nanti tidak bisa bertemu, apa sebabnya?
Kalau nanti bisa bertemu, dimanakah tempat pertemuan itu?

Senin, 18 Juni 2018

Buang Maafmu


             Bulan syawal masih belum berlalu, bahkan hari ini belum genap seminggu dari raya Idul Fitri 1 Syawal 1439 H. Nuansa lebaran dan saling bermaafan yang kental di negeri ini pun masih sangat terasa, tetapi Idul Fitri yang berarti kembali suci itu seperti sudah tertimbun kesuciannya. Padahal beberapa hari lalu, budaya baik yang dibuat pada saat hari raya itu kita hatur-haturkan ke banyak orang, berharap dosa kesalahan dan khilaf kita di antara sesama bisa terhapuskan. Sekarang, ada apa dengan kita yang kemarin katanya baru kembali suci?
            Banyak orang tak paham dengan hakikat bermaafan, seringkali orang meminta maaf hanya untuk mengikuti budaya dan karena “mumpung momennya”. Budaya maaf yang dibuat pada hari raya Idul Fitri tentu termasuk hal baik dan tidak termasuk hal yang salah, yang salah dan bermasalah adalah manusia, bukan budaya dan momen bermaaf-maafannya. Jika dicermati lebih jauh, maaf dapat menghapuskan dosa yang telah kita lakukan, dosa yang menyebabkan kita bisa terjerumus ke dalam api neraka. Sangat dalam sekali bukan, manfaat maaf ini?
             Tetapi kebanyakan orang, di saat hari raya Idul Fitri ini tiba, jutaan kalimat permintaan maaf mereka lontarkan dan sodor-sodorkan hanya untuk meramaikan momen dan justru lupa niat dan hakikat minta maaf sesungguhnya. Parahnya, ada yang menyelingi minta maaf dengan lelucon. Minta maaf kini hanya dianggap kebiasaan dan lelucon. Ada yang menghina dan menyakiti sesamanya dengan sengaja, lalu meminta maaf. Mereka mengulangi hal tersebut selama Idul Fitri dan beranggapan bahwa hari raya Idul Fitri adalah kesempatan yang aman dari dosa karena mereka menganggap itu momen sebagai hari minta maaf. Selepas Idul Fitri, bahkan banyak yang merasa bebas berbuat dosa lagi dan lupa hakikat kembali suci. Mereka seakan lupa hakikat maaf yang baru saja mereka ucapkan.
            Islam mengajarkan kita bahwa hidup harus mempunyai hubungan yang baik kepada Allah dan manusia. Kita sangat dihimbau untuk segera bertaubat dan meminta maaf jika mempunyai salah, tidak menunggu suatu budaya yang dibuat sebagai momen untuk bermaaf-maafan. Hal ini disebabkan karena kita tidak tahu sampai kapan kita hidup, maka jika bersalah seharusnya kita tidak tenang dan berdiam diri. Istri yang mempunyai salah dengan suaminya sehingga suaminya murka, sedangkan dia tidak menyapa atau meminta maaf pada suami dan langsung tidur saja, bisa dimurkai Allah dalam tidurnya. Itu mencerminkan bahwa kita sebagai manusia, harus sesegera mungkin memperbaiki kesalahan. Jika umur diketahui batasnya, mungkin bisa dengan seenaknya kita melakukan dosa dan meminta maaf secara berulang-ulang. Tetapi sudah jelas bahwa kita tak tahu batas umur kita, kenapa masih memain-mainkan dosa dan kata maaf?
            Jadi kalau memang berniat ingin meminta maaf karena kesalahan yang diperbuat, harus disegerakan. Meminta maaf saat hari raya Idul Fitri itu bagus, memastikan lagi bahwa kita sudah saling ikhlas dalam memaafkan. Jika sebelumnya kita selalu menyegerakan meminta maaf apabila ada kesalahan, maka akan lebih bagus lagi apabila meminta maaf kembali saat Idul Fitri, jika dilakukan dengan niat yang benar dan tulus. Namun apabila permintaan maaf itu hanya sekadar untuk mengikuti budaya tanpa disertai niat yang benar dan hanya digunakan untuk main-main saja, maka untuk apa itu semua kau lakukan? Buang saja maafmu…

Minggu, 17 Juni 2018

Bismillah

Belajar dengan niat
Melihat dengan renungan
Mendengar dengan takzim
Membaca dengan menghayati
Menulis dengan jujur
Intropeksi dengan lapang
Berpikir dengan logika
Berbicara dengan bijak
Bertindak dengan hati
Merasa dengan nurani
Membela dengan adil
Menyayangi dengan tulus
Membenci dengan cukup
Berjalan dengan malu
Beramal dengan ilmu
Bertindak dengan rencana
Memulai dengan sabar
Berproses dengan nikmat
Menerima dengan ikhlas

Sabtu, 16 Juni 2018

Antara yang Tak Terduga


Ada yang terkuat antara penindas dengan yang ditindas, yaitu orang yang sabar dan tak pernah marah.
Ada yang tercerdas antara yang suka membodohi dengan yang selalu dibodohi, yaitu orang bodoh yang diam-diam membodohi orang yang membodohi dan tanpa sadar pada akhirnya lebih berkembang dari yang suka membodohi.
Siapa yang tahu jika yang di atas suatu saat bisa saja terjatuh?
Begitulah nasib yang tak rendah hati…
Begitulah nasib yang tak pernah instropeksi…
Begitulah nasib yang terlalu percaya diri…
Saat sapaan angin tak bisa mengingatkan jika kau sudah terlalu tinggi, maka mungkin lemparan batu yang pantas untuk melukai dan menjatuhkanmu. Jika manusia tak mampu melempar batu pada ketinggian di luar batas kekuatannya, maka Tuhan tidak akan kesulitan untuk melakukannya!
Bukankah roda pada kendaraan yang sering kau gunakan, sangat jelas menggambarkan filosofi bawah hidup itu berputar, bisa di atas bisa di bawah?
Bukankah dari beberapa buku yang pernah kau baca, tertuliskan penjelasan tentang fenomena hukum karma dan perjalanan hidup?
Bukankah puluhan sinetron yang kau anggap lebay bahkan juga sudah mencontohkan pelajaran hidup?

Jumat, 15 Juni 2018

Kalau tidak tahu, jangan..


            Perkembangan teknologi pada zaman ini semakin memudahkan manusia untuk berkomunikasi dari jarak jauh. Komunikasi, yang merupakan proses perpindahan dan tukar informasi, dapat berjalan sangat cepat dan mudah tersebar luas berkat kemajuan teknologi. Namun tak jarang terjadi kasus penyebaran informasi yang tidak jelas kebenarannya, bahkan bersifat fitnah dan menjatuhkan, yang juga tak disertai dengan sumber yang valid. Kalau kita, biasa menyebut ini dengan berita hoax. Sebaiknya kita hati-hati, karena semua informasi yang kita sebarkan nantinya pasti akan dihisab pada hari akhir, dan akan dijatuhi hukuman jika kita tidak dapat mempertanggungjawabkan.
            Membahas tentang berita hoax akan terlalu luas arahnya, di sini ada pembahasan yang lebih menarik. Bagaimana kalau kita coba muhasabah diri terlebih dahulu. Kita itu termasuk saya maupun Anda, karena hal yang satu ini mungkin saja pernah kita lakukan. Maka, tiap diri kita wajib koreksi diri.
          Setiap hari ada banyak hal yang dapat terjadi di sekitar kita, baik itu fenomena unik yang terkadang bermunculan, maupun istilah-istilah lama maupun baru, yang masih asing dan belum kita tahu, tentu juga tidak dapat kita jelaskan. Sesuatu yang tidak kita tahu, tentunya harus dicari tahu apabila memang dibutuhkan informasinya, sedangkan sesuatu yang sudah kita tahu dan informasi itu dibutuhkan oleh orang lain, tentunya harus kita sampaikan demi kemaslahatan umat manusia. Hal mendasar yang sangat jelas dan umum, tetapi sering tidak diterapkan.
            Jika berbicara sedikit tentang konteks agama, banyak orang yang membenci bahasan jika itu mengenai sesuatu yang bersifat menyesatkan, apalagi jika orang itu termasuk pihak yang terjerembab dalam kebiasaan atau budaya lama yang sesat, tentu nantinya akan kaget dan tersinggung saat pertama kali menerima kebenaran. Namun ini bukan tentang bahasan menyesatkan yang orang anti terhadapnya, tetapi justru tentang orang-orang yang menyesatkan orang lain dengan tindakannya tetapi tidak sadar akan apa yang dilakukan beserta dampaknya. Banyak orang yang justru menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain dengan perkataannya, bisa karena “ketidaktahuan” ditambah “tidak ada keinginan untuk belajar”. Hal ini sama saja dengan merelakan dan memelihara kebodohan.
            Contohnya, pernah ada seseorang, bahkan banyak orang pernah berkata, “Anda ini aliran Muhammadiyah apa NU”, “Agama Anda ini Islam atau Muhammadiyah atau NU”, “Jangan ikutan aswaja aswaja, apa itu gak jelas, hati-hati sesat kayak gituan”, “Jangan ikutan salafi salafi gak jelas, islam garis keras itu”, “Kamu pengikut 4 imam madzhab apa ikut Nabi”, “Celanamu kenapa sih kok cingkrang kayak orang kebanjiran. Jadi kayak teroris gitu malah”, dan banyak lagi pernyataan lain yang terlalu banyak jika dituliskan.
            Perlu diketahui bahwa Muhammadiyah dan NU adalah organisasi Islam yang merupakan sarana untuk belajar dan berdakwah, bukan aliran. Aswaja adalah singkatan dari ahlussunnah waljama’ah, yang berarti orang yang mengikuti atau menerapkan sunnah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Salafi adalah bentuk penyandaran kepada salaf atau orang terdahulu. Penyandaran ini adalah penyandaran yang terpuji karena cara beragama/bermanhaj yang benar. Masalah pengikut, tentunya kita mengikuti Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi apa kita pernah bertemu langsung dengan Nabi? Maka dari itu, kita mempelajari dari sumber yang lurus serta mempelajari ilmu dari guru agama yang kompeten. Celana di atas kaki karena mengikuti sunnah, apa salahnya? Toh orang yang celananya tingginya di atas lutut saja tak dipermasalahkan, tetapi orang yang tinggi celananya sedikit di atas mata kaki saja kok justru dipermasalahkan. Jangan-jangan otak kita kotor?
            Ada lagi orang yang asal mengatakan, “Jangan ikut-ikutan atau gabung organisasi islam di sekolah atau kampusmu, hati-hati nanti itu moro-moro aliran sesat lho”. Bagaimana orang ini bisa langsung merangkai kalimat seperti itu? Memang pernah ada kasus penyelewengan yang dilakukan oleh oknum tak bertanggungjawab di kawasan pendidikan, kasus cuci otak atau lain sebagainya. Namun gara-gara suatu kasus bukan berarti kita mengatakan semua perkumpulan atau organisasi seperti itu adalah menyesatkan. Hanya karena ada bom bunuh diri yang pelakunya beragama islam, bukan berarti seluruh muslim adalah teroris bukan? Menekankan selektivitas boleh, tapi jangan sampai pemilihan kalimat yang akan disampaikan membuat orang takut belajar agama. Akhirnya orang yang awalnya bergairah untuk belajar, memutuskan jadi islam biasa-biasa saja, yang penting sholat walau maksiat jalan. “Seng penting pokok e islam, sholat tok ae wes gak usah neko-neko atek melu ceramah-ceramah ambek sinau-sinauan nang kumpulan-kumpulan utowo organisasi. Gak bener kumpulan-kumpulan koyok ngono iku”. Hancur generasi kita apabila orang-orang berpikiran seperti ini, apalagi jika itu pengaruh doktrin orang tua terhadap anak. Anak menjadi fobia belajar agama dan menganggap hal-hal yang sebenarnya patut untuk dipelajari dan diketahui, malah menjadi hal-hal yang menurutnya menyesatkan.
Bagian mana dikatakan menyesatkan? Doktrin atau perkataan yang mempengaruhi orang lain adalah senjata paling berbahaya bagi pemikiran. Pemikiran adalah akar yang membentuk tindakan dan diri seseorang. Orang yang berbicara tanpa dasar di hadapan orang yang berilmu, tak berbahaya karena orang yang berilmu pastinya tidak akan terpengaruh. Berbeda jika orang yang berbicara sembarangan dengan penekanan dan gimik yang kuat, berbicara di hadapan orang yang polos, belum mengerti, atau masih ragu akan prinsip kebenaran. Orang yang lemah, besar kemungkinan untuk terpengaruh. Hal yang lebih berbahaya adalah apabila ocehan-ocehan itu disodor-sodorkan pada anak-anak yang belum bisa bernalar dengan bijak. Mereka hanya akan menelan mentah-mentah, jika tidak ada yang meluruskan dapat menimbulkan pemahaman yang keliru sampai bertahun-tahun.
Jadi, kalau belum tahu jangan malas tuk mencari tahu. Jangan sampai perkataan buruk yang kita lontarkan disertai ketidaktahuan, membuat orang lain takut untuk belajar agama. Jangan sampai karena perkataan kita, membuat orang berpandangan buruk tentang sesuatu yang harusnya mereka pelajari dan ketahui. Berilmu dulu, baru beramal. Hadirkan ilmu dulu, baru menyampaikan.
Pesan ini penting untuk kita semua, jadi dimohon dengan sangat..
“Kalau tidak tahu, JANGAN SEMBARANGAN BICARA!”

Amal atau Rahmat


            Ada suatu kisah yang mengena pada khutbah Jumat hari ini tanggal 1 Syawal 1439 H, menceritakan tentang seseorang yang diberi umur 500 tahun oleh Allah. Selama di dunia, orang tersebut mengisi hidupnya dengan beribadah penuh kepada Allah tanpa cacat sedikit pun, serta meminta mati dalam keadaan sujud. Ketika tiba waktunya, orang itu pun meninggal dunia. Saat di alam kubur, orang tersebut mendapat tempat istirahat yang nikmat. Orang itu lalu bertanya kepada Allah, “ya Allah, apakah aku mendapatkan semua ini karena amalku?”. Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Allah, orang itu bertanya sampai tiga kali. Allah baru menjawab pertanyaan orang itu saat dia bertanya ketiga kali. Allah menyuruh malaikat untuk menimbang amal orang tersebut, setelah ditimbang, malaikat mengatakan, “ya Allah, sesungguhnya orang ini belum pantas masuk ke surga, amalnya hanya setara dengan dua biji bola mata yang Engkau berikan”
Maka orang itu tersadar dan langsung memohon ampun kepada Allah, “ya Allah, sesungguhnya aku mendapatkan balasan dan kenikmatan ini bukan karena amal yang kukerjakan, tetapi karena-Mu, karena rahmat-Mu. Ampunilah aku ya Allah”. Manusia lupa bahwa setiap detik yang mendetakkan jantungnya untuk tetap hidup itu siapa? Yang menciptakan paru-paru agar bisa bernapas siapa? Yang menciptakan raga untuk bisa bergerak dan digunakan untuk beribadah siapa? Maka penyebab kita bisa beribadah, sudah jelas karena Allah. Orang itu bisa beribadah penuh selama 500 tahun karena dihidupkan 500 tahun oleh Allah, jika dihidupkan 50 tahun maka orang itu hanya bisa beribadah selama 50 tahun, jika dihidupkan 10 tahun hanya bisa beribadah selama 10 tahun. Bagaimana dengan kita? Jika diberi umur 1000 tahun pun, apakah kita akan beribadah penuh selama 1000 tahun?
Kuasa Allah, semua terjadi karena kehendak-Nya, bukan karena diri kita. Walaupun dikaruniai umur panjang dan hidup dengan penuh ibadah, jika rahmat Allah tidak turun, kita tak akan masuk surga-Nya. Amal banyak saja belum menjamin kita selamat, apalagi kalau kita tidak beramal dan berusaha serta berdoa meminta cucuran rahmat-Nya? Jadi, pemahaman yang melenakan dan menyimpang harus segera dihilangkan dari pemikiran. Orang yang banyak amal belum tentu masuk surga, menunjukkan bahwa kita harus menggunakan logika yang jernih. Jika yang banyak amal belum dijamin, apalagi yang amalnya masih sedikit. Jadi yang amalnya merasa masih sedikit ini jangan pernah pede akan selamat duluan sehingga meremehkan dan menyepelekan ibadah karena "masih ada rahmat". Tetapi jangan berpikir terbalik dengan menganggap bahwa, karena masuk surga itu dengan rahmat, menyebabkan malas beramal dan hanya mengharapkan rahmat saja. Cukup direnungkan, jangan sampai salah pemahaman.