Minggu, 20 Mei 2018

Tumbuhan Kehidupan

Pada waktu itu...
Paham mulai ditanam
Waktu pun menumbuhkan
Hingga…
Semu mengakar dalam
Ragu kokoh membatang
Salah mulai bersemi
Penyesalan mulai berguguran
Malu mulai mekar
Terjadilah gagal bahagia
Pesan untuk kita!
Jauhi yang syubhat  
Hindari yang terlarang
Lakukan yang dibenarkan

Sabtu, 19 Mei 2018

Orang Bodoh Menyusahkan Orang Pintar

            Ada yang menarik dari ceramah tarawih yang saya dengar, kali ini menceritakan tentang orang bodoh menyusahkan orang pintar. Orang pintar di sini maksudnya adalah orang yang senantiasa mau belajar dan berbenah, sehingga mendapatkan ilmu, lalu mencoba menerapkannya secara istiqomah. Tentunya juga yang dimaksud orang bodoh di sini adalah orang yang tidak berilmu, tidak ingin mencari ilmu, dan niatnya menjatuhkan orang berilmu. Orang tipe kedua bukan orang yang tak bisa menggunakan akal, justru inilah tipe orang yang biasanya mengandalkan akal, tapi memiliki kekurangan di bidang ilmu. Berbicara dengan akal tanpa ilmu bisa membinasakan pemikiran, tidak untuk dirinya sendiri tetapi bagi orang banyak.
            Ada salah satu kisah fiksi, yaitu suatu negeri yang bercita-cita ingin berangkat ke bulan. Mereka sudah mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk perjalanan ke bulan. Persiapan teknis maupun nonteknis sudah dirancang secara matang. Beberapa hari ketika menjelang keberangkatan, pemimpin negeri tersebut berpidato sebagai bagian dari acara pelepasan. Ketika pemimpin ini berpidato, salah satu orang mengangkat tangan. Orang itu mengatakan, “Pak saya bosan dengan bulan, tak bisakah kita pergi ke matahari?” Orang-orang tentu serempak langsung tertawa terbahak, setelah selesai tertawa, perhatian mereka langsung menuju ke arah pemimpin tersebut. Wajah mereka penasaran mengharap jawaban. Si pemimpin hanya celingak celinguk, sejurus kemudian dia bertanya balik, “matahari kan panas, ya tidak mungkin toh kita ke sana.” Orang tadi pun menjawab, “ya bisa saja Pak, kita berangkat saja setelah maghrib dan pulang sebelum shubuh!” tukas orang tersebut berapi-api. Warga lain pun tertawa kembali, kali ini lebih keras dan lama. Si pemimpin tersebut semakin bingung meladeni pertanyaan yang tidak penting itu, tetapi perkataan orang tadi ternyata malah mampu mempengaruhi orang lain agar malas ikut ke bulan. Mereka terlanjur berpikir, bulan adalah tempat yang membosankan dan biasa saja.
            Tidak ada orang berilmu tak berakal, tetapi sungguh banyak orang berakal tapi tak berilmu. Sekali orang berakal tapi tak berilmu ini bicara, dapat melontarkan banyak keraguan dan syubhat yang mengacaukan pemikiran orang yang berilmu, apalagi jika ilmunya belum matang. Suatu hal yang gawat.
Kesalahan pemikiran yang banyak terjadi pada masyarakat umum biasanya dilontarkan oleh filsuf, budayawan, atau penceramah yang tidak paham namun asal bicara. Pernah seorang publik figur melempar kalimat, “untuk apa membela agama Allah, agama Allah itu tidak perlu dibela. Untuk apa membela Allah, Allah bisa membela dirinya sendiri.” Pertanyaannya, sulitkah Allah yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Perkasa menolong agamanya? Kalau Allah ingin, cukup Kun Fayakun maka terbaliklah tanah tempat orang zalim. Kenapa malah manusia yang lemah disuruh membela agama Allah? Pernah dengar janji Allah berisi, “barangsiapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya?” Jadi sebenarnya kita ini diuji, paham? Baik.
Ada lagi kalimat yang benar-benar eksklusif, yaitu “Kenapa orang beribadah berharap pahala, gak ikhlas ta beribadah cukup karena Allah saja. Beribadah itu jangan mikir pahala.” Doa berbuka puasa yang haditsnya shahih itu di kalimat akhirnya mengharap pahala, doa masuk masjid meminta rahmat Allah, dan doa lain yang berharap balasan hanya kepada Allah. Kalau sering berdoa mungkin tahu, lebih spesifik lagi yang sering berdoa dan mengetahui artinya pasti paham. Tanda orang beriman adalah menginginkan surga dan berusaha menggapainya. Lucu sekali apabila ada orang mati tidak berharap dan bahkan selama hidupnya tidak pernah meminta masuk surga. Maka mau kembali kemana dia? Orang bodoh dan sombong tetapi berakal pun tak akan mau masuk neraka, karena tempat akhirat hanya ada dua, jika tidak surga ya neraka. Surga pun dapat dimasuki karena rahmat Allah, maka orang yang tidak mau berharap dan berdoa antara dia tidak paham hakikat kehidupan atau memang sombong. Terkadang orang yang mengaku malas berdoa, jika ditanya maka jawabannya seperti ini, “aku malu berdoa karena dosaku, karena itu aku tidak berdoa. Doa di saat aku butuh Allah saja sama saja menghina Allah.” Tetapi kenyataannya orang itu sangat jarang berdoa, bahkan di waktu butuh apalagi tidak butuh. Penjelasan pertanyaan pertama, padahal rukun ibadah adalah cinta, takut, dan berharap. Beribadah dengan cinta kepada Allah karena segala nikmat dan karunianya yang diberikan kepada kita, takut akan adzab dan siksa neraka yang sangat pedih, dan berharap hanya kepada Allah. Orang normal pasti berharap surga dan takut akan neraka, karena itu merupakan ancaman Allah dan pasti ada karena merupakan janji Allah sebagai balasan amal manusia. Kedua, pernah dengar Allah pasti mengabulkan doa orang yang benar-benar meminta dan istiqomah? Doa yang dikabulkan pasti yang terbaik bagi kita. Ampunan Allah begitu luas. Allah tak pernah bosan member ampunan, tetapi kita yang lelah dan tidak mau meminta. Pernah dengar, orang yang tidak mau berdoa adalah orang yang sombong? Cukup.
Ada juga orang ingin menjadi baik, tapi tidak bisa mencontoh. “Aku mau hijab dong, kayak mbak mbak hijabers itu lho kelihatan anggun. Walaupun berhijab tapi pantatnya masih terlihat indah.” Lalu temannya yang sudah istiqomah berhijab syar’i mengatakan, “kamu jangan meniru dia, itu nggak syar’i.” Perempuan yang ingin berhijab tadi pun mengatakan, “kamu kok sukanya nyalah-nyalahkan sih? Dasar garis keras, biarin dong kalo aku pengen kayak gitu!” Sekarang begini, seorang hakim harus menghukum orang yang salah dengan seadil-adilnya. Hakim tidak boleh menyalahkan pelaku pemerkosa dan mengatakan “Oi kamu itu salah, dasar pemerkosa.” Tentu tidak begitu, tetapi hakim wajib menjatuhkan hukuman yang adil. Kita tidak boleh juga menyalahkan orang yang masih menyimpang dari ajaran agama, walaupun terkesan seperti ajaran agama namun belum sempurna. Tetapi, jika kita ingin berubah lebih baik dan mencontoh seseorang, baiknya mencontoh yang sudah benar. Menjudge buruk tidak boleh, tapi sebagai target untuk merubah diri lebih baik haruslah melihat orang yang benar dan jauh lebih baik di atas kita. Standard perubahan diri harus lebih tinggi. Sekian.
Semua karena memang begitu pada hakikatnya. Intinya, kita harus belajar. Belajar agama bukan hanya untuk ustadz atau kyai, bukan karena kalo ingin jadi ustadz atau kyai. Belajar agama itu wajib bagi setiap orang. Karena yang baik belum tentu benar, tapi yang benar pastilah baik di mata Allah. Marilah kita senantiasa menuntut ilmu dan tak berhenti sampai ajal menjemput, agar kita tahu cara yang benar untuk persiapan pulang ke rumah.  

Jumat, 18 Mei 2018

Haruskah

            Saya berada di negara yang sangat beragam akan suku, bahasa, dan budaya. Saya hanya ingin menyoroti budaya, karena budaya dapat berasal dari sebuah pemikiran, adat istiadat, atau kebiasaan yang pernah dilakukan oleh manusia yang lalu. Apa yang dilakukan manusia dan sudah menjadi contoh, merupakan hal yang harus diperhatikan karena kini, budaya sudah sangat melekat di masyarakat luas, karena melekatnya sampai-sampai banyak orang menggabungkan antara budaya dan agama Islam.
            Sebuah bangsa tanpa budaya menurut saya mungkin seperti durian yang tak terlalu manis dan tak beraroma kuat, tak nikmat. Kekayaan bangsa memang tidak semuanya harus kita hindari, karena ada beberapa yang memang mencerminkan persatuan dan menggambarkan sejarah perjuangan masa lalu kita. Namun, zaman ini sekulerisme sudah menjalar kemana-mana. Organisasi, pendidikan, bisnis, semua dikesampingkan dari urusan agama. Padahal, hukum agama yang paling adil dan pelajaran dari agama adalah yang paling solutif bagi kehidupan. Membebaskan setiap perbuatan dari aturan agama berarti mempertaruhkan diri kita untuk kehancurkan.
            Pernah saya melihat sebuah tari budaya yang entah berasal dari daerah mana, yang jelas tarian itu menampilkan lekak lekuk tubuh dengan memakai pakaian yang tidak menutup aurat. Tarian itu dipersembahkan untuk pembukaan suatu acara besar daerah. Penari itu hanya seorang diri dan rupanya muslimah. Wajahnya terlihat malu dan tidak nyaman setelah menari di depan penonton. Saya menyempatkan diri menyapanya di belakang panggung dan saya katakan “tarianmu bagus, belajar dari kapan?” Dia menjawab, “Sebenarnya saya baru belajar menari untuk pembukaan acara ini, karena teman saya berhalangan hadir jadi saya dipaksa untuk menggantikannya, karena postur tubuhku yang dia bilang menarik dan paling cocok untuk melakukan tarian ini.” Lalu dia izin untuk berganti pakaian dan cepat-cepat keluar meninggalkan acara. Ngomong-ngomong, pakaiannya setelah ganti bisa dibilang hijab syar’i.
            Setelah itu saya berpikir dan merenung, dari hati nurani terdalam wanita itu, ada kejujuran bahwa dia tak ingin menampilkan hal itu, dia hanya terpaksa dan sungkan menolak. Hanya saja, karena itu merupakan acara yang besar dan menunjukkan kebudayaan sebagai wajah daerah tersebut, terpaksa dia melakukan itu semua.
            Hal-hal yang seperti ini, haruskah kita pertahankan? Kalau tidak mau dihilangkan, kenapa tidak dimodifikasi saja supaya aman menurut syariat? Itu baru contoh kecil saja, bahkan banyak contoh budaya di Indonesia seperti sholat di kuburan, menganggap petilasan adalah tempat barokah, dan hal-hal menyimpang lain dari agama yang jika dituliskan disertai alasannya, maka akan menghabiskan ribuan bahkan jutaan kata.
            Orang-orang selalu saja mengatakan, kita harus mengikuti nenek moyang, menghormati nenek moyang, menjaga adat nenek moyang, namun pernahkah kita terpikir untuk menjaga syariat? Jika hal-hal seperti ini tidak dipecahkan oleh tembok buta hati kita, maka generasi penerus kita akan semakin melenceng. Pernahkah kita berpikir, apa yang akan terjadi jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pengikut budaya yang? Penganut budaya keras tanpa menyaring atau seorang sekulerisme tulen? Pasti kita sekarang menyembah patung, karena budaya arab dahulunya menyembah patung berhala untuk urusan bisnis, politik, bahkan ibadah mereka.
Syarat beribadah saja adalah ikhlas dan yang kedua ittiba’ Rasul. Ittiba’ artinya mengikuti. Sudah seharusnya kita mengikuti yang harus diikuti. Adapun jika ingin melestarikan budaya, pilih dulu mana yang benar dan mana yang salah. Kalau tidak benar sesuai syariat, ya sudah tidak usah diikuti. Panutan kita yang harus dicontoh itu Muhammad atau nenek moyang? Hm, kalau penasaran dengan budaya sekalipun, alangkah baiknya jika budaya Islam beserta syariatnya dulu yang kita pelajari. Jika budaya itu baik, maka sunnah Rasulullah adalah budaya terbaik. Jadikan agama sebagai tradisi, bukan menjadikan tradisi sebagai agama. Haruskah kita tetap memilih budaya yang menyimpang demi mengorbankan syariat? Lebih baik durian yang tak terlalu manis dan tak beraroma kuat atau durian yang pahit dan aromanya busuk?

Kamis, 17 Mei 2018

Heran

Ada kisah tentang seorang ayah dan anak. Sang ayah adalah seorang petinggi bank yang sukses dan terkenal, seorang produsen di bidang musik, serta memiliki usaha sampingan tempat karaoke. Anaknya seorang yang sederhana, tidak suka jalan-jalan, suka ngaji, dan rajin sholat di masjid.
Suatu ketika si ayah muring-muring karena si anak berhenti dari hobi bermain musiknya dan tidak mau diarahkan kerja di bank selepas lulus kuliah nanti. Si ayah berkata, “Nak, Ayah ini heran. Teman-teman Ayah di kantor banyak yang Ayah didik dari nol sampai sukses. Mendidik mereka rasanya mudah dan orang lain saja bisa berhasil, masak anak Ayah sendiri yang lebih sering ketemu malah tidak bisa seperti itu?”  
Si anak lalu menjawab, “Aku  juga tidak tahu Yah, aku juga heran. Temen-temenku aja yang dulu pacaran, suka main musik sampek meninggalkan kewajiban, bahkan ada yang males sholat, tak bilangi langsung terbuka hatinya terus berubah. Ini keluarga sendiri diajak kebaikan kok susah sekali, pas bilang yang bener secara baik-baik kok malah bilang aku anak yang aneh?” Mereka sama-sama heran sampai keturunan generasi ketujuh dari cucu sang anak lahir.

#CeritaFiksi

Selasa, 15 Mei 2018

Apa itu Teroris?

Akhir-akhir ini sedang gempar berita serangan yang dilakukan oleh teroris di kota Surabaya. Aku penasaran tentang apa sebenarnya arti teroris, lalu aku mencari di google untuk menemukan jawabannya. Menurut KBBI, “teroris” berasal dari kata “teror” yang artinya usaha menciptakan ketakutan, kengerian, kekejaman oleh seseorang atau golongan yang mengganggu orang lain. Teroris berarti orang yang melakukan hal tersebut. Aku lalu bertanya-tanya, apakah benar mereka merupakan teroris seperti yang diberitakan? Barangkali media berbohong seperti biasanya, atau mungkin ada pihak yang ingin menggiring opini, pengalihan isu, atau memang sang teroris ingin membuat citra buruk terhadap salah satu agama untuk menciptakan ketakutan dengan membunuh orang tak bersalah. Hanya Allah dan orang yang disebut teroris itu sendiri yang tahu maksud biadab tersebut.
Berbicara tentang teroris, aku berpikir bahwa apakah tindakan menakut-nakuti, kejam, menyebabkan rasa ngeri dan mengganggu hanya dikhususkan penyebutannya untuk orang yang membawa bom lalu bunuh diri di tengah orang-orang ramai? Seperti itu kah? Aku masih tidak paham, jadi kucari lagi poin yang ingin kuketahui di internet. Setelah mencari, ternyata kutemukan bahwa contoh dari tindakan yang jahat tersebut bukan hanya membawa bom lalu bunuh diri di tengah keramaian. Realita dari mindset orang Indonesia yang sering aku tahu, kebanyakan selalu melihat hal yang nampak besar, tapi lupa akan rentetan masalah kecil yang bisa lebih membahayakan dari masalah yang tampak besar. Yah, tindakan seperti merokok yang merugikan lingkungan dan kesehatan orang lain, berkata kotor sehingga menyakiti orang lain, aksi ugal di jalan yang menyebabkan pengendara lain terkadang ketakutan (terutama jika korbannya perempuan), koruptor yang kejam karena mengambil uang rakyat, serta perbuatan biadab lain ternyata termasuk dari penerapan tindakan aksi teror ringan yang banyak orang lain tak mau renungkan. Kalau dilakukan oleh seseorang atau kelompok, berarti mereka layak disebut teroris? Jika benar, maka aku sangat senang terutama dengan datangnya bulan ramadhan kali ini, karena aksi-aksi teroris itu pasti menurun, harapannya. Setidaknya untuk sebulan kedepan.
Mereka yang melakukan hal-hal demikian, seringkali menggangguku, keluarga, dan juga temanku. Aku sering menegur orang yang merokok dan berkata kotor di depan atau di sekitarku, hanya respon “bodoamat” dan lontaran macam-macam jenis makian yang kudapat. Oh, berarti pantas kalau mereka kusebut “teroris”. Aku mulai melabeli mereka dengan cap “teroris” karena mereka mengganggu, bisa menciptakan ketakutan, bahkan ada orang yang tidak suka sehingga merasa risih dan ngeri jika berada di sekitar mereka. Itu hanya contoh kecil dari kejadian yang kualami. 
Perbuatanku yang demikian ternyata malah menjadikan aku dianggap pengganggu karena tindakanku menyebut mereka teroris, maklum saja mereka tidak diterima. Aku berpikir, mungkin analisisku terhadap siapa teroris itu sebuah kesalahan. Pola pikirku untuk menciptakan sebuah kesimpulan sangat buruk, mungkin. Aku menyebut mereka teroris, tapi tindakanku terhadap mereka malah juga dianggap mengganggu, menakut-nakuti (jika perokok diingatkan akan dampaknya), seperti kaum kejam intoleran. Aku harus bisa memposisikan diri, kiranya sebelum berucap atau menulis harus membayangkan apakah orang lain tersakiti atau tidak dengan tindakanku. Tapi kebingunganku belum terpecahkan, di luar dugaanku yang menyebut orang-orang itu sebagai teroris, namun intinya tetap siapa sebenarnya di sini yang memenuhi kriteria untuk disebut teroris itu? Kalau mereka bukan teroris, lalu siapa teroris? Kalau tindakanku yang menegur justru dinilai sebagai pengganggu bagi orang-orang yang merokok, berkata kotor, ugal di jalan, dan bersikap zalim terhadap orang lain, apa teroris itu aku? Jangan-jangan selama ini aku mencari tentang apa dan siapa itu teroris, ternyata teroris itu aku!
Bisa jadi karena nalarku yang cukup buruk, akalku yang dangkal, menjadikanku seorang teroris yang orang bilang biadab. Maka di postingan ini, aku tidak ingin menampakkan wajahku, karena sepertinya saat ini banyak pihak yang sedang mengejarku. Bukannya aku takut pada densus 88, tetapi aku takut pertanggungjawabanku nanti di hadapan Sang Pencipta jika aku banyak menzalimi ciptaan-Nya. Yang disebut teroris bukanlah orang-orang yang agamanya sama dengan pelaku bom bunuh diri, tetapi orang yang menzalimi orang lain. Ya, teroris adalah aku...
#PrayforSurabaya
#SelamatDatangRamadhan
#Alhamdulillah