Sabtu, 10 November 2018

@aldolarief


Idealisme Bukan Tuhan

Kau pikir sekadar pamali
Tapi kuyakin sebab Ilahi
Pasti tak kau sangka kali ini
Jelas kau minim edukasi
Kau cerdas hanya sebatas ilusi
Kerjanya mendiplomatis basi
Orang bilang ada tikus bodoh berdasi
Tapi kau kok tak berdasi
Apa jangan-jangan kau tikus yang asli
Rupanya bersembunyi di balik gengsi
Namun hobi berkelakar revolusi
Saat menyatakan paling berdedikasi
Ternyata kau otak-otak eksekusi
Katanya sih anti persekusi
Eh malah menuduh keji
Taqlid tak buta, tapi membabi
Makar menjadi suguhan ironi
Eksplisit lihai, mengimplisit pun pandai
Sungguh seni
Lihatlah, aduhai!
Ringan pernyataan tanpa aksi
Indahnya kemunafikan dalam diksi
Berlagak berani nihil kontribusi
Gemerlap intelektualitas tujuannya digunakan sebagai perhiasan diri
Lupa kau calon mati
Hei!
Kau punya akal apa sudah ditata rapi?
Tandai dulu agar tak tertukar sana sini
Jangan keburu membubung tinggi
Agar jatuh tak hancur rohani
Makanya hindari sekulerisasi
Atau cacat di akal semakin menjadi
Kami anti paham anarki
Sebaiknya kau berhati-hati
Karena kami teguh meyakini
Bahwa idealisme bukan Tuhan sejati
.
Kenapa kau pucat pasi?
Tenang, ini sudah selesai.
.
Selamat hari pahlawan, apalah saya yang hanya seorang pemuda akhir zaman, terjebak di zona nyaman, banyak kemauan, tetapi miskin literasi dan keilmuan, yang jelas masih jauh dari perjuangan para pahlawan. Hidup berperang, tetapi menang kalah tak tahu-menahu, bahkan hidup mati tak jelas..
.
#HariPahlawan
#10November
#MerdekaAtauOmongTok

Jumat, 09 November 2018

AKAN ADA

Akan ada masa dimana seorang muslim yang meninggalkan kewajiban dianggap biasa, dianggap itu toleransi untuk kaum milenial, wajar masa muda meninggalkan sholat dan segala macam alasannya yang karena ‘mumpung masih muda nikmati hidup aja dulu, entar tua baru belajar. Gak usah kaku-kaku jadi orang’
Akan ada masa dimana seorang muslim melakukan dosa dan berpaling dari syariat, tapi tidak mengakui kesalahan dengan berpayung pada perkataan ‘yang penting niatnya baik’
Akan ada masa dimana yang menjalankan kewajiban dianggap sebagai orang yang alim. Padahal dulu kalau hanya menjalankan perintah wajib saja, seorang muslim masih dikatakan level biasa dan jauh dari alim, juga merasa masih banyak kurangnya. Bahkan ada orang yang misal memang alim dan berpegang kuat pada sunnah pun, tetap merasa takut akan nasib dirinya.
Akan ada masa dimana orang hijrah dianggap orang asing dan aneh karena meninggalkan gemerlap dunia beserta dosa-dosanya yang dulu dia nikmati bersama kawan-kawannya.
Akan ada masa dimana orang yang baru mulai belajar mempratikkan amalan sunnah, justru dianggap ‘ekstrimis’ karena terlihat tak seperti kebanyakan orang.
Akan ada masa dimana orang yang berpegang teguh pada sunnah, dianggap ‘radikal’ dan menyalahi ajaran agamanya, karena di masa ini mereka sudah tak tahu mana yang sunnah, yang mereka tahu hanya ‘tidak sesuai dengan mayoritas budaya atau masyarakat kita’
Akan ada masa dimana saat orang sholat memakai sorban dengan niat menerapkan sunnah untuk mendapat keutamaannya, tetapi malah dianggap dia islam bukan dari negara ini, tapi ‘islam itu, islam itu, atau islam negara tertentu’
Akan ada masa dimana saat orang bersiwak sebelum sholat, dianggap ‘kuno dan kolot’ karena sekarang teknologi sudah maju, sudah ada sikat gigi. Padahal ada hadits tentang orang yang bersiwak sebelum sholat, 2 rakaatnya lebih mulia daripada 70 rakaatnya orang yang sholat tanpa bersiwak terlebih dahulu.
Akan ada masa dimana saat lelaki merawat jenggotnya dengan niat mengamalkan sunnah karena kecintaan pada Rasulullah dan karena ketaatan untuk Allah, lelaki itu justru dikatakan ‘jangan aneh-aneh’ bahkan sampai dianggap meniru budaya ‘kenegara-negaraan lain, ini bukan Indonesia, ini budaya itu lah, meniru negara itu lah’
Semakin mendekati kiamat, akan semakin banyak kasus ‘akan ada akan ada ini’ Prinsip ini semakin dipegang semakin menyakitkan, bagai menggenggam bara api yang menyala-nyala. Tetaplah menjadi seorang muslim yang berprinsip elegan, serta jangan lupa berakhlakul karimah terhadap orang lain. Saya pribadi juga sering seperti di video, beberapa kali marah saat diingatkan tentang kesalahan saya, tapi saya juga terkadang senang jika ada teman mengajak maksiat, dan terkadang juga bete jika ditinggal teman untuk melihat yang ‘asik-asik’.
Terkadang jika ada teman yang mengatakan,
“Bro, tadi ada cewek seksi lho”
“Heala, adanya tadi kok baru bilang sekarang -_-“
Semoga saya tak termasuk orang-orang yang zalim.
.
#SelfReminder
#MuhasabahDiri
#RenunganBersama
'1 Rabi'ul awal 1440 H'

Rabu, 07 November 2018

Di Tengah Kemelut Pembakaran Bendera Bertuliskan Kalimat Tauhid


            (Masih) di tengah kemelut pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid, kali ini saya akan menulis untuk berbagi cerita, bukan lagi tulisan yang bersifat mencurahkan pemikiran saya pribadi. Saya sebut kejadian dalam cerita ini sebagai hidayah bagi saya. Kenapa kok saya PD ini adalah sebuah hidayah? Karena saya sering sekali melakukan suatu kesalahan, yang setelah mendapat pengalaman yang akan saya ceritakan ini, maka pengalaman itu seperti menyadarkan saya bahwa tindakan saya selama ini sangat keliru dan boleh jadi secara tidak sadar pernah merugikan individu maupun banyak pihak. Saya sebut intinya ini adalah petunjuk dari Allah untuk meluruskan kesalahan-kesalahan saya selama hidup.
            Apa sih salah satu kesalahan saya selama hidup yang sering saya lakukan dan yang kali ini akan saya bahas? Su’udzon atau berprasangka buruk terhadap orang lain. Kita berprasangka buruk terhadap diri sendiri seperti putus asa saja tak boleh, apalagi berprasangka jelek terhadap orang lain. Memangnya kita ini siapa?
            Di tengah pemberitaan media sosial yang begitu gencarnya menyodorkan tontonan maupun tulisan provokatif tentang pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid, saya mungkin termasuk salah satu orang yang mudah tersulut emosi dan terkadang berprasangka buruk terhadap sesama saudara muslim saya. Pemuda memang penuh gairah, apalagi pemuda yang baru sedikit-sedikit ikut kajian seperti saya, gairahnya biasanya kebablasan tak aturan. Yah, namun saya bersyukur setidaknya masih mempunyai gairah dan rasa keingintahuan yang tinggi, daripada tidak peduli dan tidak punya gairah sama sekali. Terutama gairah dalam membela islam yang saya maksud di sini. Saya akui saya berlebihan dan kurang terkondisikan, maka saya akui kekhilafan saya.
            Pembahasan saya kali ini tidaklah mengenai itu bendera apa, siapa yang bersalah, hukum yang memble, ataukah tentang pemimpin yang zalim. Tidak, cerita saya bukan itu. Pembahasan saya adalah akar dari penerapan Tauhid itu sendiri, yang salah satunya mencerminkan bagaimana cara kita bersikap berlandaskan iman dan akhlakul karimah dalam berkehidupan.
            Singkat cerita, beberapa hari yang lalu saya dititipi atribut topi bertuliskan kalimat Tauhid untuk dijual. Ada vendor yang memproduksi atribut topi berkalimat Tauhid berskala kecil, pemilik vendor tersebut merupakan orang berketurunan arab. Nah, saya dititipi oleh seseorang yang membeli atribut topi bertuliskan kalimat Tauhid tersebut di tempat vendor yang pemiliknya orang arab tadi. Saya diminta bantuan hanya untuk menjual topi tersebut, dan harga saya menjual asli sama dengan harga yang dipatok dari vendor tadi. Jadi tak ada hasil dari pembelian yang jatuh kepada saya, sederhananya dari awal saya memang dilarang untuk mengambil keuntungan sepeser pun dan tidak saya jual untuk cari untung. Saya lalu bantu menjual atribut topi bertuliskan kalimat Tauhid tersebut secara langsung maupun lewat media sosial. INGAT DAN PAHAMI, SAYA HANYA MENJUAL UNTUK MENDISTRIBUSIKAN BARANG BAGI ORANG YANG BERMINAT PADA PRODUK TOPI BERTULISKAN KALIMAT TAUHID, BUKAN UNTUK MENCARI UNTUNG. Saya ulangi, tak ada niat mencari keuntungan dalam penjualan ini, dan saya tidak mendapat untung sama sekali. Kalau masih belum paham maksud saya dalam paragraf ini, baca 100x.
            Selang beberapa waktu saya menjual lewat postingan di media sosial, ada saja yang melontarkan kalimat pedas menuju pada saya yang intinya,
“memanfaatkan konflik agama untuk mencari keuntungan?”
“agama dijadikan komoditas dagang?”
“pemanfaataan simbol Tauhid untuk dijual dengan hal murah?”
Inti yang seakan-akan menuduh penjual atribut bertuliskan kalimat Tauhid adalah seseorang yang mencari keuntungan dunia melalui konflik agama. Banyak orang bilang, Tauhid itu diamalkan di hati dan perbuatan, bukan memakai atribut Tauhid segala. Ya memang ya memang, penerapan Tauhid dalam pikiran dan perbuatan itu yang paling penting, bukan sebatas atribut duniawi. Tetapi pemakaian atribut Tauhid kan juga hanya simbol kebanggaan, bukan berarti kita menyatakan iman kita lebih tinggi dari yang tidak pakai atribut Tauhid dan menyatakan kita pasti masuk surga karena memakai atribut Tauhid. Ya bukan seperti itu logikanya. Sekarang misalnya, toh kalau bendera Tauhid dibakar, diinjak, diludahi, kita pasti akan marah karena simbol islam dilecehkan. Misal hal itu terjadi, pertanyaannya kenapa kita akan marah? Karena rasa bangga dan tindakan pembelaan simbol islam merupakan salah satu bentuk penerapan dari Tauhid itu sendiri. Jadi, bukan yang memakai simbol atau atribut Tauhid yang pasti masuk surga, tapi menjaga simbol atau atribut Tauhid adalah merupakan salah satu penerapan dalam bertauhid. Jangan ada yang dipisahkan. Akalnya ditata dulu biar nggak kebalik, dirapikan dulu biar nggak terlampau jenius dan biar nggak malah terkesan bodo akal sampean itu..
            Setelah itu saya hanya beristighfar, ternyata sehina ini diri saya tiap kali dulu saya berprasangka buruk kepada orang lain. Kehinaan akibat su’udzon seakan langsung kembali pada si pelaku, jika sang pelaku menyadarinya saja sih. Kalau yang menghina kita orang kafir, tidak perlu marah. Wajar saja, karena orang kafir atau orang yang tidak percaya Allah, memang tidak tahu islam ataupun nilai-nilai islam. Tetapi jika yang menghina atau su’udzon terhadap orang islam adalah sesama orang islam sendiri, apakah itu tidak tambah semakin menyakiti? Akal boleh main, IQ boleh jenius, tapi jika kita tidak bisa mengontrol akal, logika, atau kecerdasan yang selalu kita sombongkan, hati-hati saja. Apa yang kita prasangkakan belum tentu seburuk niat orang lain. Walaupun niat orang lain salah saja kita tidak boleh menuduh, apalagi kalau belum tahu niat orang lain? Bisa jadi semua yang kita sombongkan dan kita banggakan itu, tidak menyelamatkan kita di akhirat, malah menjadi beban penyebab kehinaan saat hisab nanti. Jika dosa pada Allah, kita bisa taubat nasuha. Namun jika dosa kita karena menyakiti orang lain dengan tuduhan yang salah yang kita akui sebagai 'Tuduhan Berintelektual' milik kita, jika orang itu tidak memaafkan lalu menuntut Anda di hadapan Allah karena dosa Anda terhadap orang itu, maka habislah Anda. Waspadai sekulerisme. "Menggunakan akal untuk mendekatkan diri pada Tuhan itu harus, tapi waspadalah apabila kita justru mulai menuhankan akal.”
            Sekian cerita berbagi pengalaman saya. Cerita ini hanya untuk membuka pikiran, tidak bermaksud menyindir atau menghina siapapun. Inilah negeri saya, bahkan di dalam konflik tetap bisa saja ada konflik. Di samping masalah, selalu ada masalah lain. Semoga dapat diambil pelajaran bagi yang lain agar selalu berprasangka baik terhadap sesama, tidak seperti saya yang sering berprasangka buruk. Agar negeri ini, benar-benar merdeka dan sukses bertauhid.
#MuhasabahDiri
#RenunganBersama
’29 Shafar 1440 H’

Jumat, 26 Oktober 2018

SAYA KHAWATIR

Saya tak cemas jika saudari kami yang bercadar dihinakan, tapi saya khawatir jika saudari kami yang mau berhijab sempurna dibilang “ah kamu sok-sokan berhijab, hati masih belum bersih aja kok. Jadi o baik dan alim dulu baru berhijab”
Saya tak cemas jika budaya nusantara dihina atau diklaim, tapi saya khawatir jika budaya nusantara kami merendahkan saudara kami di arab dan melebur menjadi syariat.
Saya tak cemas jika orang kafir memimpin negeri ini, tapi saya khawatir jika orang islam munafik, kelompok jaringan islam liberal, datang ke negeri ini.
Saya tak cemas jika orang lain dilarang sholat, tapi saya khawatir jika orang yang ingin sholat dibilang “kamu masih kotor kok sholat? Ojok sholat sek, resiki sek atimu”
Saya tak cemas jika orang liberal memasuki nusantara, tapi saya khawatir jika orang munafik dan ideologi liberal merasuk di pikiran pemuda pemudi kami.
Saya tak cemas jika syariat islam dilecehkan, tapi saya khawatir jika orang bingung membedakan yang dilecehkan itu termasuk syariat atau bukan.
Saya tak cemas jika bendera tauhid dibakar, tapi saya khawatir jika pemahaman tauhid kami dikikis sekuler perlahan.
Saya tak cemas jika banyak pengajian dibubarkan, tapi saya khawatir jika teman saya yang suka ngaji dipengaruhi “dadi muslim gak usah keras-keras, bendino kok sholat ngaji ae kerjaan e, dadi wong iku biasa ae”
Saya tak cemas jika banyak ormas islam di negeri ini, tapi saya khawatir jika mereka anggap ormas itu adalah agama.
Saya tak cemas jika banyak ormas islam di negeri ini, tapi saya khawatir jika mereka samakan itu dengan manhaj.
Saya tak cemas jika Anda menghina dan membenci saya, tapi saya khawatir jika hati Anda tak bergetar saat Islam dicerca, serta kecintaan akan Islam sudah tak ada lagi di dada Anda.

Kamis, 25 Oktober 2018

Gunakan Pakaian Terbaikmu


Bismillah. Saya adalah orang yang perhatian terhadap pakaian. Apabila ada acara penting bersama orang lain maupun saat menghadiri panggilan interview, saya pastikan untuk menggunakan pakaian terbaik.

Akan sangat malu sekali diri saya jika pakaian yang saya kenakan saat ada agenda duniawi yang penting terlihat “lecek”, “kotor”, atau “kusam”. Maaf, mulailah otak sederhana saya menganalogikan nilai sosial dengan nilai spiritual.

Sholat dengan kaos oblong dan celana training sering saya lakukan, bahkan mungkin bisa disebut pakaian “pas-pasan”, yang pasti malu jika saya gunakan pakaian pas-pasan itu untuk pergi ke tempat pendidikan atau tempat kerja. Tapi kenapa saya tidak malu memakai baju yang pas-pasan untuk menghadap Allah? Kok justru malu berpakaian biasa-biasa saja untuk berhadapan dengan manusia?

Saya “barusan sadar”, yang menciptakan mata orang lain itu Allah, yang menciptakan jantung bos kita itu Allah, lah kenapa kita justru lebih malu berpakaian pas-pasan di hadapan ciptaan-Nya daripada malu menghadap Sang Pencipta? Bukan berarti menghadap makhluk harus dengan pakaian jelek, maksudnya di sini adalah, jika bertemu makhluk saja kita menggunakan pakaian terbaik, maka kenapa di hadapan Penciptanya makhluk, justru kita menggunakan pakaian yang kurang berkenan? Jangan malu memakai pakaian yang rapi, bagus, kinclong saat menghadap Allah, malulah saya jika tampil di depan manusia berpakaian bagus, namun berhadapan dengan Allah malah saya menggunakan pakaian apa adanya.

Demikian unek-unek saya, tidak saya sertakan dalil yang berat dan rumit, karena saya sendiri masih miskin ilmu. Tapi saya yakin jika banyak yang akan memahami nilai sederhana ini setelah membaca tulisan saya. Itu berarti, sejatinya diri kita sudah secara alamiah dapat membedakan mana yang baik dengan mana yang kurang berkenan. Yang tahu munafiknya diri saat menolak kebenaran dari hati terdalam kita justru adalah kita sendiri.

*Jangan lupa ditambah peci, agar rambut tidak mengganggu wajah saat sujud.

#MuhasabahDiri
#RenunganBersama

'16 Safar 1440 H'