Rabu, 07 November 2018

Di Tengah Kemelut Pembakaran Bendera Bertuliskan Kalimat Tauhid


            (Masih) di tengah kemelut pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid, kali ini saya akan menulis untuk berbagi cerita, bukan lagi tulisan yang bersifat mencurahkan pemikiran saya pribadi. Saya sebut kejadian dalam cerita ini sebagai hidayah bagi saya. Kenapa kok saya PD ini adalah sebuah hidayah? Karena saya sering sekali melakukan suatu kesalahan, yang setelah mendapat pengalaman yang akan saya ceritakan ini, maka pengalaman itu seperti menyadarkan saya bahwa tindakan saya selama ini sangat keliru dan boleh jadi secara tidak sadar pernah merugikan individu maupun banyak pihak. Saya sebut intinya ini adalah petunjuk dari Allah untuk meluruskan kesalahan-kesalahan saya selama hidup.
            Apa sih salah satu kesalahan saya selama hidup yang sering saya lakukan dan yang kali ini akan saya bahas? Su’udzon atau berprasangka buruk terhadap orang lain. Kita berprasangka buruk terhadap diri sendiri seperti putus asa saja tak boleh, apalagi berprasangka jelek terhadap orang lain. Memangnya kita ini siapa?
            Di tengah pemberitaan media sosial yang begitu gencarnya menyodorkan tontonan maupun tulisan provokatif tentang pembakaran bendera bertuliskan kalimat Tauhid, saya mungkin termasuk salah satu orang yang mudah tersulut emosi dan terkadang berprasangka buruk terhadap sesama saudara muslim saya. Pemuda memang penuh gairah, apalagi pemuda yang baru sedikit-sedikit ikut kajian seperti saya, gairahnya biasanya kebablasan tak aturan. Yah, namun saya bersyukur setidaknya masih mempunyai gairah dan rasa keingintahuan yang tinggi, daripada tidak peduli dan tidak punya gairah sama sekali. Terutama gairah dalam membela islam yang saya maksud di sini. Saya akui saya berlebihan dan kurang terkondisikan, maka saya akui kekhilafan saya.
            Pembahasan saya kali ini tidaklah mengenai itu bendera apa, siapa yang bersalah, hukum yang memble, ataukah tentang pemimpin yang zalim. Tidak, cerita saya bukan itu. Pembahasan saya adalah akar dari penerapan Tauhid itu sendiri, yang salah satunya mencerminkan bagaimana cara kita bersikap berlandaskan iman dan akhlakul karimah dalam berkehidupan.
            Singkat cerita, beberapa hari yang lalu saya dititipi atribut topi bertuliskan kalimat Tauhid untuk dijual. Ada vendor yang memproduksi atribut topi berkalimat Tauhid berskala kecil, pemilik vendor tersebut merupakan orang berketurunan arab. Nah, saya dititipi oleh seseorang yang membeli atribut topi bertuliskan kalimat Tauhid tersebut di tempat vendor yang pemiliknya orang arab tadi. Saya diminta bantuan hanya untuk menjual topi tersebut, dan harga saya menjual asli sama dengan harga yang dipatok dari vendor tadi. Jadi tak ada hasil dari pembelian yang jatuh kepada saya, sederhananya dari awal saya memang dilarang untuk mengambil keuntungan sepeser pun dan tidak saya jual untuk cari untung. Saya lalu bantu menjual atribut topi bertuliskan kalimat Tauhid tersebut secara langsung maupun lewat media sosial. INGAT DAN PAHAMI, SAYA HANYA MENJUAL UNTUK MENDISTRIBUSIKAN BARANG BAGI ORANG YANG BERMINAT PADA PRODUK TOPI BERTULISKAN KALIMAT TAUHID, BUKAN UNTUK MENCARI UNTUNG. Saya ulangi, tak ada niat mencari keuntungan dalam penjualan ini, dan saya tidak mendapat untung sama sekali. Kalau masih belum paham maksud saya dalam paragraf ini, baca 100x.
            Selang beberapa waktu saya menjual lewat postingan di media sosial, ada saja yang melontarkan kalimat pedas menuju pada saya yang intinya,
“memanfaatkan konflik agama untuk mencari keuntungan?”
“agama dijadikan komoditas dagang?”
“pemanfaataan simbol Tauhid untuk dijual dengan hal murah?”
Inti yang seakan-akan menuduh penjual atribut bertuliskan kalimat Tauhid adalah seseorang yang mencari keuntungan dunia melalui konflik agama. Banyak orang bilang, Tauhid itu diamalkan di hati dan perbuatan, bukan memakai atribut Tauhid segala. Ya memang ya memang, penerapan Tauhid dalam pikiran dan perbuatan itu yang paling penting, bukan sebatas atribut duniawi. Tetapi pemakaian atribut Tauhid kan juga hanya simbol kebanggaan, bukan berarti kita menyatakan iman kita lebih tinggi dari yang tidak pakai atribut Tauhid dan menyatakan kita pasti masuk surga karena memakai atribut Tauhid. Ya bukan seperti itu logikanya. Sekarang misalnya, toh kalau bendera Tauhid dibakar, diinjak, diludahi, kita pasti akan marah karena simbol islam dilecehkan. Misal hal itu terjadi, pertanyaannya kenapa kita akan marah? Karena rasa bangga dan tindakan pembelaan simbol islam merupakan salah satu bentuk penerapan dari Tauhid itu sendiri. Jadi, bukan yang memakai simbol atau atribut Tauhid yang pasti masuk surga, tapi menjaga simbol atau atribut Tauhid adalah merupakan salah satu penerapan dalam bertauhid. Jangan ada yang dipisahkan. Akalnya ditata dulu biar nggak kebalik, dirapikan dulu biar nggak terlampau jenius dan biar nggak malah terkesan bodo akal sampean itu..
            Setelah itu saya hanya beristighfar, ternyata sehina ini diri saya tiap kali dulu saya berprasangka buruk kepada orang lain. Kehinaan akibat su’udzon seakan langsung kembali pada si pelaku, jika sang pelaku menyadarinya saja sih. Kalau yang menghina kita orang kafir, tidak perlu marah. Wajar saja, karena orang kafir atau orang yang tidak percaya Allah, memang tidak tahu islam ataupun nilai-nilai islam. Tetapi jika yang menghina atau su’udzon terhadap orang islam adalah sesama orang islam sendiri, apakah itu tidak tambah semakin menyakiti? Akal boleh main, IQ boleh jenius, tapi jika kita tidak bisa mengontrol akal, logika, atau kecerdasan yang selalu kita sombongkan, hati-hati saja. Apa yang kita prasangkakan belum tentu seburuk niat orang lain. Walaupun niat orang lain salah saja kita tidak boleh menuduh, apalagi kalau belum tahu niat orang lain? Bisa jadi semua yang kita sombongkan dan kita banggakan itu, tidak menyelamatkan kita di akhirat, malah menjadi beban penyebab kehinaan saat hisab nanti. Jika dosa pada Allah, kita bisa taubat nasuha. Namun jika dosa kita karena menyakiti orang lain dengan tuduhan yang salah yang kita akui sebagai 'Tuduhan Berintelektual' milik kita, jika orang itu tidak memaafkan lalu menuntut Anda di hadapan Allah karena dosa Anda terhadap orang itu, maka habislah Anda. Waspadai sekulerisme. "Menggunakan akal untuk mendekatkan diri pada Tuhan itu harus, tapi waspadalah apabila kita justru mulai menuhankan akal.”
            Sekian cerita berbagi pengalaman saya. Cerita ini hanya untuk membuka pikiran, tidak bermaksud menyindir atau menghina siapapun. Inilah negeri saya, bahkan di dalam konflik tetap bisa saja ada konflik. Di samping masalah, selalu ada masalah lain. Semoga dapat diambil pelajaran bagi yang lain agar selalu berprasangka baik terhadap sesama, tidak seperti saya yang sering berprasangka buruk. Agar negeri ini, benar-benar merdeka dan sukses bertauhid.
#MuhasabahDiri
#RenunganBersama
’29 Shafar 1440 H’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar