Siapa
yang tak panas dibilang apatis? Jika ada orang yang memang benar-benar apatis pun, pasti akan marah kalau dicap apatis. Bunyi dari kata apatis sepertinya sangat sensitif bagi pendengarnya. Selasa
malam 19 September kemarin adalah pertama kalinya kemesraan kumpul konco bareng.
Bahasannya bisa dibilang konsep santai, namun makna bahasan tersebut bisa juga menjadikan orang yang membahasnya menjadi tidak santai, sehingga
terkadang ada celetukan “Santai Wae”. Kumpul konco ini ya forumnya anak FPK UNAIR,
bukan forum salah satu badan organisasi atau pihak tertentu saja. Baik.
Intermezzonya sudah cukup, mari kita masuk ke topik kajian. Eeeh, topik cangkruk!!!
Semua
peserta cangkruk yang hadir pada malam itu bersatu padu tanpa membawa jabatan
atau kedudukan apapun, semuanya sama rata sama rasa sebagai keluarga. Berbagai argumen
mulai menghangatkan jalannya agenda cangkruk pada malam itu. Arti apatis
mendapat gambaran tersendiri dari berbagai individu. Ada yang menyebutnya
pandangan, proses, sifat buruk, ketidakpedulian, stigma, bahkan ada yang
mengatakan apatis itu tidak ada. Apapun argumen teman-teman pada waktu itu,
semua sebenarnya adalah satu titik yang sama. Hanya bolpoin dan cara menitiknya
saja yang berbeda. Keragaman karakter menyebabkan keragaman pendapat, keragaman
pendapat mewarnai kemesraan cangkruk malam itu.
Saya menyumbang sedikit pendapat
dalam percakapan malam itu bahwa apatis adalah proses, pandangan, dan kurang
kepedulian pada sekitar. Mayoritas yang hadir tidak menyanggah hal tersebut,
namun satu hal yang saya tidak setuju adalah bahwa apatis itu tidak ada. Apatis
menurut pendapat saya tetap ada, tetapi dalam contoh hal yang sangat sederhana
semisal membuang sampah sembarangan dan tidak mengatur etika merokok. Saya
tidak menyalahkan untuk teman-teman yang jarang aktif ikut berdiskusi ataupun
tidak aktif organisasi serta kepanitiaan, karena pada dasarnya manusia punya
kesibukkan berbeda untuk berkembang dan jalan sendiri untuk berkontribusi. It’s
okay, mereka semua benar dan saya sama sekali tidak memaksakan argumen saya untuk menjadi argumen yang paling perfect sebagai ajang pamer intelektual. Argumen
sing bener iku yo sing “enak dan isok diterimo” bareng.
Terlepas dari arti apatis
berdasarkan dari sudut pandang manapun, saya sangat bangga kepada teman-teman
yang hadir pada malam itu karena dengan kehadiran itu, menurut saya teman-teman
layak disebut tidak apatis karena minimal sudah mau hadir dan membahas tentang
apa itu apatis atau apatis, me. Romantisme cengkrama semakin terbentuk diselingi
alunan gitar dan nyanyian salah satu mahasiswa keluarga FPK. Dinamika cangkruk
pada malam itu lumrahnya naik turun berdasarkan tipe-tipe pendapat yang
dilontarkan, namun alur diskusinya tetap diarahkan untuk mencapai tujuan utama
pada malam itu. Yaitu bahagia dan melepas duka lara.
Saat
memasuki inti akhir pembicaraan, kesimpulan tema yang diusung yaitu “apatis me”
sebenarnya adalah sebuah renungan bagi insan-insan yang hadir pada malam itu.
Apapun apatis itu, semua kembali lagi ke diri kita. Apatis me. Apatiskah
aku? Apa aku sudah memberikan kontribusi yang maksimal bagi lingkungan dan
orang sekitarku? Yah, intinya kalau mau melakukan perbaikkan diri ya memang
harus sering merenung. Semoga idealisme mahasiswa-mahasiswa yang membara
seperti ini tidak mati, tetap hidupkan
budaya diskusi dan berpikir di FPK UNAIR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar