Selasa, 19 September 2017

Apatis Me

Siapa yang tak panas dibilang apatis? Jika ada orang yang memang benar-benar apatis pun, pasti akan marah kalau dicap apatis. Bunyi dari kata apatis sepertinya sangat sensitif bagi pendengarnya. Selasa malam 19 September kemarin adalah pertama kalinya kemesraan kumpul konco bareng. Bahasannya bisa dibilang konsep santai, namun makna bahasan tersebut bisa juga menjadikan orang yang membahasnya menjadi tidak santai, sehingga terkadang ada celetukan “Santai Wae”. Kumpul konco ini ya forumnya anak FPK UNAIR, bukan forum salah satu badan organisasi atau pihak tertentu saja. Baik. Intermezzonya sudah cukup, mari kita masuk ke topik kajian. Eeeh, topik cangkruk!!!
Semua peserta cangkruk yang hadir pada malam itu bersatu padu tanpa membawa jabatan atau kedudukan apapun, semuanya sama rata sama rasa sebagai keluarga. Berbagai argumen mulai menghangatkan jalannya agenda cangkruk pada malam itu. Arti apatis mendapat gambaran tersendiri dari berbagai individu. Ada yang menyebutnya pandangan, proses, sifat buruk, ketidakpedulian, stigma, bahkan ada yang mengatakan apatis itu tidak ada. Apapun argumen teman-teman pada waktu itu, semua sebenarnya adalah satu titik yang sama. Hanya bolpoin dan cara menitiknya saja yang berbeda. Keragaman karakter menyebabkan keragaman pendapat, keragaman pendapat mewarnai kemesraan cangkruk malam itu.
            Saya menyumbang sedikit pendapat dalam percakapan malam itu bahwa apatis adalah proses, pandangan, dan kurang kepedulian pada sekitar. Mayoritas yang hadir tidak menyanggah hal tersebut, namun satu hal yang saya tidak setuju adalah bahwa apatis itu tidak ada. Apatis menurut pendapat saya tetap ada, tetapi dalam contoh hal yang sangat sederhana semisal membuang sampah sembarangan dan tidak mengatur etika merokok. Saya tidak menyalahkan untuk teman-teman yang jarang aktif ikut berdiskusi ataupun tidak aktif organisasi serta kepanitiaan, karena pada dasarnya manusia punya kesibukkan berbeda untuk berkembang dan jalan sendiri untuk berkontribusi. It’s okay, mereka semua benar dan saya sama sekali tidak memaksakan argumen saya untuk menjadi argumen yang paling perfect sebagai ajang pamer intelektual. Argumen sing bener iku yo sing “enak dan isok diterimo” bareng.
            Terlepas dari arti apatis berdasarkan dari sudut pandang manapun, saya sangat bangga kepada teman-teman yang hadir pada malam itu karena dengan kehadiran itu, menurut saya teman-teman layak disebut tidak apatis karena minimal sudah mau hadir dan membahas tentang apa itu apatis atau apatis, me. Romantisme cengkrama semakin terbentuk diselingi alunan gitar dan nyanyian salah satu mahasiswa keluarga FPK. Dinamika cangkruk pada malam itu lumrahnya naik turun berdasarkan tipe-tipe pendapat yang dilontarkan, namun alur diskusinya tetap diarahkan untuk mencapai tujuan utama pada malam itu. Yaitu bahagia dan melepas duka lara.
Saat memasuki inti akhir pembicaraan, kesimpulan tema yang diusung yaitu “apatis me” sebenarnya adalah sebuah renungan bagi insan-insan yang hadir pada malam itu. Apapun apatis itu, semua kembali lagi ke diri kita. Apatis me. Apatiskah aku? Apa aku sudah memberikan kontribusi yang maksimal bagi lingkungan dan orang sekitarku? Yah, intinya kalau mau melakukan perbaikkan diri ya memang harus sering merenung. Semoga idealisme mahasiswa-mahasiswa yang membara seperti ini tidak mati, tetap  hidupkan budaya diskusi dan berpikir di FPK UNAIR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar