Sabtu, 21 April 2018

Muhasabah Diri


   
     Buku saya telah habis. Terbayang sebelumnya bahwa, tidak mungkin rasanya menikmati hembusan angin senja di pantai ini tanpa buku. Jadi, beberapa hari sebelum pergi ke Jawa Tengah, saya sempatkan tuk mampir ke toko buku. Pandangan mata saya langsung menyapu rak-rak yang berjejeran, menyibak indahnya lembaran-lembaran ilmu kehidupan itu. Sampai akhirnya perhatian saya tertuju pada buku berjudul “Dahsyatnya Neraka” yang ditulis oleh Syaiful Bachri az-Zidani. Saya ambil dan saya beli, tetapi karena saat itu tidak ada uang, maka saya berhutang pada teman dan saya bayar di kemudian hari. Itulah salah satu pengorbanan demi ilmu.
     Saat sudah separuh jarak perjalanan berangkat, fokus pada buku yang saya baca terhenti di halaman 66. Tertulis hadits, “Wahai Manusia, menangislah kamu, jika tidak bisa menangis, maka pura-puralah menangis. Sesungguhnya, penghuni neraka itu menangis di dalam neraka sampai air mata mereka jatuh ke pipinya hingga habis. Kemudian, setelah air matanya habis, maka keluarlah darah dari matanya. Sehingga, karena air mata itu terus mengalir tanpa henti, perahu bisa berjalan di atasnya.” (HR. Hakim).
      Kalut hati ini. Perasaan saya seketika bergejolak tidak karuan, rasa damai yang hadir sebelumnya langsung saling tindih dengan rasa takut. Betapa pelupanya manusia. Terkadang jika tertawa, lupa bahwa suatu hari nanti bisa saja kita akan menangis sangat lama, atau mungkin menangis tak berhenti. Terlalu lama akal ini pingsan, tak pernah sadar betapa banyak konsekuensi yang menunggu dari setiap tindakan menyimpang. Desis angin dan suara deburan ombak tiba-tiba tak terasa, tergantikan sunyi yang berani bertamu dalam lamunan. Senyap, raga ini menjadi seperti tak bertuan. Akhirnya, hanya renungan yang hadir, walau sesaat. Momen terakhir yang indah di pinggir pantai Kartini, sebelum pulang dan bermimpi di balik selimut hangat.
(Jepara, 3 Sya’ban 1439 H)