Minggu, 10 Desember 2017

Orang Idealis Dilarang Membaca

Saya merenung pada kegagalan diri, bertanya-tanya entah pada siapa. Akhir zaman ini, banyak orang mengingatkan orang lain dengan caranya, mungkin tidak selalu menggunakan cara terbaik namun sering mereka katakan dengan “caranya”. Ada yang dengan emosi kemarahan, menggunakan kata kotor atau kata kasar, mengkritik di depan umum dengan nada keras dan menyinggung, sampai membuka aib orang lain, mengatakan alasannya demi untuk pembelajaran orang lain, lalu mereka melindungi caranya dengan pembelaan “ya ini caraku”, “ya biar ada dinamika”, “ini idealismeku”, dan lain-lain. Kalau kita tinjau kembali pada cara Rasulullah, yaitu tutur kata serta perbuatannya, beliau adalah pendakwah yang lembut. Tidak pernah berkata untuk menyakiti seseorang, menutupi aib saudaranya, menasihati orang dengan tidak kasar dan tidak mempermalukan di depan umum, tidak keras kepala, jika dakwahnya gagal maka beliau mengevaluasi diri sendiri bukannya orang lain, jika cara beliau dikritik maka beliau tidak akan mengkritik balik orang lain, melainkan menerima dan senantiasa memperbaiki caranya. Bayangkan, orang termulia dengan cara terindah seperti itu saja, di zaman dahulu yang belum seperti sekarang, masih saja tidak sepenuhnya dakwah beliau diterima. Masih ada tentunya orang-orang yang tidak mengakui dan bahkan menolak secara terang-terangan. Jika melihat akhir zaman seperti sekarang, dimana pengikisan nilai-nilai luhur telah banyak terjadi, jika tidak mengikuti cara Rasulullah melainkan menggunakan cara yang keras, kasar, atau tidak lemah lembut, pertanyaannya apakah kemungkinan bisa lebih berhasil kalau kita ingin menyampaikan kebaikan itu? Ataukah memang kita sebenarnya sudah tahu jika terkadang cara kita kurang efektif, tetapi ada niat lain di situ yaitu hanya ingin memuaskan hasrat ego semata? Oh, saya harus berbenah diri. Saya juga tidak mengatakan diri saya orang baik, saya hanya senantiasa berusaha ingin menjadi lebih baik.